Secerah Memori

96 8 0
                                    

Anya tersenyum manis saat seorang gadis mendekat kearahnya. Mbak Dian, dia datang dengan se cup air lemon ditangannya. Anya tidak menyangka jika dia akan bertemu dengan Mbak Dian disini. Perawat baik hati yang sudah mau membantu Anya banyak hal.

"Mbak Dian disini juga," sapa Anya.

Gadis manis itu mengangguk pelan, dia melirik kearah Abian sejenak dan kembali lagi memandang kearah Anya.

"Iya, kebetulan baru malam ini sempat. Seharusnya ingin dua hari yang lalu, tapi pasien di klinik cukup banyak," jawab Mbak Dian.

Dian kembali memandang kearah Abian yang hanya diam dan mendengarkan mereka. "Kamu sama siapa? dia?" tanya Mbak Dian sembari menunjuk Abian.

Anya tersenyum dan mengangguk pelan. Dia meraih tangan Abian dan merangkulnya dengan lembut. "Iya mbak, dia Abian. Mbak pasti tahu lah gosip yang sering disebut mbak Desita," jawab Anya sembari mengenalkan Abian pada Dian.

Dian mengangguk mengerti. Namun, pandangan matanya selalu memandang pada Abian, bukan karena wajah Abian yang tampan dan menawan, hanya saja pandangan mata Abian yang tidak fokus dan nampak kosong, itu yang menjadi fokus Dian sejak tadi.

"Apa dia?" Diyah tidak berani melanjutkan ucapannya, dia takut Anya dan lelaki ini tersinggung. Namun, Anya malah tersenyum dan mengangguk pelan.

"Iya mbak, Mas Abi nggak bisa melihat. Kecelakaan hari itu membuat Mas Abi buta. Mbak lupa ya, kalau mbak sendiri yang bilang kalau matanya cedera waktu itu," ungkap Anya.

Dian nampak terdiam sesaat, hingga beberapa detik kemudian dia langsung terkesiap dan tersenyum getir. Bahkan dia sampai menepuk dahinya sekilas karena dia baru mengingat tentang lelaki ini.

"Ya ampun Anya, maaf. Aku benar-benar lupa kalau aku pernah merawat dia dulu. Aku terlalu sibuk dan memang cepat lupa. Aku kira kalau dia udah ketemu sama keluarganya," jawab Dian.

Anya menggeleng pelan, "Belum mbak, Mas Abi malah lupa ingatan. Jadi Anya sama sekali nggak bisa cari tahu atau menghubungi keluarganya," ucap Anya.

"Ya ampun, ini sudah lama sekali. Keluarganya pasti khawatir," Mbak Dian memandang Abian dengan perasaan yang iba.

"Anda dokter?" tanya Abian tiba-tiba. Sejak tadi dia hanya diam dan mendengarkan pembicaraan kedua gadis ini. Namun, ketika Anya berkata jika Dian juga pernah merawatnya, Abian jadi ingin tahu satu hal.

"Bukan, aku hanya perawat yang bertugas di klinik itu," jawab Mbak Dian.

"Iya, mas. Dia mbak Dian yang pernah ngerawat Mas Abi juga sewaktu nggak sadar dulu," sahut Anya pula.

"Itukan memang udah tugas aku An. Tapi aku gak nyangka banget kalau dia bisa sehat seperti sekarang, bahkan hanya dengan perawatan seadanya di rumah," ucap Mbak Dian.

Anya tersenyum getir memandang Abian yang terlihat menghela nafas panjang.

"Anda kan perawat, apa anda tidak bisa membuat ingatan saya kembali?" tanya Abian.

Anya kembali menoleh pada Mbak Dian. Kali ini gadis itu nampak menggeleng lemah. "Aku tidak bisa, aku cuma perawat, bukan dokter. Lagi pula amnesia juga tidak bisa sembuh hanya dengan obat-obatan saja. Itu harus menjalani operasi dan juga terapi," ungkap Mbak Dian.

Abian langsung tertunduk lesu mendengar itu. Operasi dan terapi? bagaimana mungkin bisa dia lakukan jika untuk makan saja Anya dan neneknya sudah kesusahan. Tidak mungkin hal itu bisa terjadi. Dan jika pun dia sudah menemukan keluarganya. Tidak ada kemungkinan juga jika keluarganya punya uang yang banyak. Jika keluarga Abian juga orang miskin, bagaimana?

Apa selamanya dia akan buta dan juga lupa ingatan? Ah hidupnya memang menyedihkan sekali.

"Nggak ada cara lain ya mbak?" tanya Anya.

Mbak Dian menggeleng pelan, " Sebenarnya untuk beberapa kasus, pasien amnesia bisa diajak mengingat kenangan-kenangan masa lalunya dengan mendatangi tempat-tempat kenangan atau berkumpul dengan anggota keluarga dan juga sahabat dekat. Dengan begitu saja memorinya pasti akan sedikit demi sedikit bisa pulih. Tapi untuk kasus Mas Abian, ini sedikit sulit karena dia... tidak bisa melihat," ungkap Mbak Dian panjang lebar.

Abian menggeleng pelan dan tersenyum getir mendengar itu. Namun, usapan lembut tangan Anya di lengannya membuat Abian merasa tenang.

"Nggak apa-apa. Anya yakin nanti suatu saat masa Abi pasti bisa sembuh," ucap Anya.

"Iya," jawab Abian begitu singkat.

"Benar, nanti aku bantu deh untuk mencari keluarga kamu, siapa tahu di sekitar kota ada yang mencari orang hilang," sahut Mbak Dian pula.

"Wah terima kasih, mbak," ucap Anya terlihat senang.

"Jangan berterima kasih sekarang. Ini juga terlambat, seharusnya sudah sejak dulu. Tapi karena kesibukan, aku jadi lupa," jawab Mbak Dian.

Anya tertawa kecil mendengar itu. "Iya nggak apa-apa, Anya juga ngerti kok mbak. Anya mau minta tolong juga takut waktu itu. Mbak tahu sendirilah bagaimana kami di desa itu," ungkap Anya.

Dian tersenyum tipis dan menggeleng pelan, dia juga tidak menyangka jika lelaki yang digosipkan orang-orang selama ini adalah Abian. Dia sudah sering mendengar jika Zura kumpul kebo dan menyimpan lelaki dirumahnya. Awalnya Dian juga berpikir jika Anya memang sengaja. Dia benar-benar melupakan kalau lelaki itu adalah lelaki malang yang kini buta dan amnesia. Wajar, jika Zura menempatkan lelaki ini dirumahnya.

Anya dan Nek Lastri adalah orang baik. Dan sekarang, Dian percaya itu.

"Ah, kita jadi membahas hal itu disini. Padahal kemari untuk bersenang-senang," ucapan Anya membuat Dian langsung tertawa dan kembali memandang ke sekitar.

"Kamu benar juga, ya ampun. Maaf ya, aku juga lupa lagi," sahut Mbak Dian.

"Mbak memang pelupa, ya," canda Anya. Mereka berdua kembali tertawa. Sedangkan Abian hanya bisa terdiam, karena mendengar suara tawa Anya saja sudah cukup baik untuknya.

"Oh iya, mbak sama siapa kemari?" tanya Anya. Dia merangkul kembali lengan Abian dan berjalan masuk kearea pasar malam itu.

"Aku sama dokter Raga, tadi dia pamit ke kamar mandi. Tapi sampai sekarang belum kembali lagi. Apa dia nyasar ya?" gumam Mbak Dian.

"Duh, gawat mbak. Dokter Raga kan belum tahu daerah sini. Pasar malam ini lumayan besar, nanti dia bingung cari mbak lagi," sahut Anya pula.

Kini Mbak Dian yang nampak panik, "Kamu benar juga. Yasudah, aku permisi cari dia dulu. Nanti kita ketemu di dalam aja, siapa tahu dokter Raga juga bisa bantu masalah Mas Abian," ujar Mbak Dian.

Anya langsung tersenyum senang mendengar itu. "Oke mbak, kami nunggu di dalam ya," jawab Anya.

Dian mengangguk, dan akhirnya dia langsung pergi meninggalkan Anya dan Abian untuk mencari dimana keberadaan Raga.

Sedangkan Anya membawa Abian masuk kedalam area pasar malam itu.

"Dokter Raga itu, dokter relawan yang kamu ceritain waktu itu?" tanya Abian di sela-sela langkah kaki mereka.

"Iya, dia masih muda. Kata mbak Dian dia masih umur 21 tahun. Masih sekolah di kedokteran juga," ungkap Anya. Matanya mengedar kesegala arah, memandangi berbagai wahana permainan yang ada di sana.

"Baik sekali dia mau menjadi relawan disini," ucap Abian. Dan ucapan Abian itu membuat Anya mengangguk pelan.

"Iya, baik banget emang. Kalau gak salah namanya, Raga Rajendra Bagaskara," jawab Anya.

Namun, jawaban Anya itu membuat langkah Abian langsung terhenti.

"Siapa?" tanyanya kembali.

"Raga Rajendra Bagaskara, dia dari Jakarta,"

Abian terdiam, mendengar nama itu dan nama kota itu disebut, rasanya seperti tidak asing. Ada sekelabat memori yang membuat kepalanya menjadi pusing sekarang.

Raga? Jakarta?

Apa itu ada hubungannya dengan dia?

MEMORI CINTA ZEYVANNOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang