Perpisahan

127 14 0
                                    

Pagi hari yang terasa menyedihkan. Genangan air mata sudah membendung di pelupuk mata Anya. Rasanya begitu berat dan juga perih ketika dia harus merasakan kehilangan untuk yang kesekian kali. Sungguh tidak nyaman sekali ketika dia sudah menemukan sebuah cahaya didalam kehidupannya, namun sekarang cahaya itu sudah harus pergi.

Sakit? Tentu saja. Tapi untuk menahan juga tidak mungkin. Hingga akhirnya, Anya harus bisa merelakan Abian untuk pergi dari hidupnya. Mengakhiri semua yang telah terjadi diantara mereka.

Anda merangkul lengan Abian menuju kearah mobil Raga. Dokter muda itu juga ikut berjalan beriringan bersama Nek Lastri untuk mengantar kepergian Abian.

Raga sudah dari pagi berada di rumah Anya. Tentunya untuk berpamitan dan mengucapkan sejuta kata terima kasih untuk Anya dan neneknya. Apalagi Raga memang belum ada mengabari keluarga Bartles tentang ini. Jadi dia yang harus mewakilkan keluarga itu dulu sebelum nantinya mereka yang akan datang sendiri ke tempat ini.

"Oh iya, nek." Tiba-tiba Raga berhenti di ambang pintu dan membuat langkah Nek Lastri terhenti. Begitu juga Anya dan Abian yang sudah lebih dulu berjalan.

"Ini untuk pegangan nenek dulu ya, untuk membeli kebutuhan nenek dan Anya disini," Raga berucap sembari menyerahkan sebuah kartu pada Nek Lastri.

"Ini apa, nak?" tanya Nek Lastri.

"Ini kartu kredit, di dalamnya ada sedikit uang. Nanti bisa untuk membeli keperluan nenek," ungkap Raga.

Nek Lastri mengernyit bingung. Dia memandang Raga dengan heran.

"Nenek nggak ngerti makainya gimana, nak. Nggak usahlah, kan udah nenek bilang nenek ikhlas bantu nak Abian," ucap Nek Lastri. Dia mendorong kembali lengan Raga dan menolak pemberian lelaki itu.

"Iya, nek. Saya tahu nenek ikhlas, tapi saya juga ikhlas untuk memberikan ini. Anggap saja sebagai hadiah dan kenang-kenangan dari saya dan kak Vanno," ujar Raga lagi.

"Ambilah, Nek," ujar Abis pula.

"Bukannya nenek menolak, nak. Nenek itu gak ngerti," jawab Nek Lastri.

Raga langsung tertawa kecil mendengar itu, kini dia langsung beralih pada Anya.

"Kamu juga nggak ngerti cara menggunakannya?" tanya Raga.

Anya langsung mengangguk pelan dan tersenyum getir. "Baru kali ini juga ngelihatnya, dokter," jawab Anda.

"Kamu bawa kartu ini ke bank, atau di desa sebelah sepertinya ada tempat pengambilan uang. Kamu juga bisa ambil disitu. Nanti mereka yang akan membantu, kamu tinggal menyebutkan kodenya saja," ujar Raga. Dia langsung menyerahkan kartu itu pada Anya.

Anya terlihat ragu, namun Abian langsung memintanya untuk mengambil kartu itu.

"Ambilah, jangan di tolak. Kamu bisa gunakan itu untuk berbelanja dan membeli obat nenek," ucap Abian.

Hingga mau tidak mau Anya pun mengambil kartu itu dengan ragu setelah Raga menyebutkan kode pin-nya.

"Jika kamu bingung, kamu bisa minta tolong pada Dian. Dia pasti mau membantu," kata Raga lagi.

Anya mengangguk pelan, "Terima kasih, Dokter," ucap Anya.

"Saya yang berterima kasih, ini tidak ada apa-apanya dengan kebaikan kalian, "jawab Raga. "Mungkin nanti, uncle Raymond atau yang mewakili pasti akan datang kesini untuk mengucapkan terima kasih pada Nenek dan Anya," tambah Raga lagi.

"Udahlah, nak. Nenek nggak apa-apa. Yang penting nak Abian sehat dulu. Nanti kalau udah sembuh, baru main kemari sesekali," ujar Nek Lastri.

"Pasti nek, saya pasti akan datang lagi nanti," sahut Abian.

Anya dan Nek Lastri langsung tersenyum mendengar itu.

"Kalau begitu, kami pergi sekarang, Nek." Raga langsung menjulurkan tangannya pada nek Lastri dan langsung mencium punggung tangan wanita tua itu. Wanita baik hati yang sudah menolong nyawa sepupunya.

"Hati-hati," jawab Nek Lastri. Dan Raga langsung mengangguk pelan.

Kini Abis beralih pada Anya. Dia meraba tangan Anya dan menggenggamnya dengan lembut, "Saya pergi dulu, kamu harus baik-baik saja disini, nanti saya pasti datang lagi," ujar Abian.

"Iya," jawab Anya. Begitu singkat, dia tidak bisa banyak berkata-kata sekarang, jika menjawab rasanya Anya ingin menangis saja. Percayalah, rasanya di tinggalkan itu begitu sakit. Apalagi Anya merasa jika ini adalah pertemuan mereka yang terakhir.

"Tidak boleh menangis sendirian," ucap Abian.

"Iya," jawab Anya, yang sebisa mungkin menahan isak tangisnya.

"Harus selalu jadi gadis yang kuat," pinta Abian lagi.

"Tentu," jawab Anya. Senyumnya terlihat begitu getir. Apalagi air mata yang sudah mengalir diwajahnya.

"Jangan menangis," pinta Abian.

"Nggak," jawab Anya yang langsung menghapus air mata itu. Abian memang tidak bisa melihat tapi Raga dan Nek Lastri tahu. Mereka tahu jika sepertinya, Anya begitu bersedih.

"Kamu berbohong kan," Abian berucap sembari menarik tubuh Zura dan memeluknya dengan erat. Dan tentu saja perlakuan Abian ini kembali meruntuhkan pertahanan Anya. Dia menangis dalam dekapan lelaki itu. Menangis sembari menikmati kehangatan terakhir yang bisa dia rasakan.

"Mas Abi harus cepat sehat dan sembuh ya," pinta Anya.

"Tentu saja," jawab Abian.

"Jangan pernah lupakan Anya," pinta Anya kembali.

"Tidak akan, Anya," jawab Abian. Dia melepaskan pelukannya dan mengusap wajah Anya dengan lembut. Merasakan kembali pahatan dan ciptaan Tuhan yang kini sudah basah dengan air mata.

"Jangan menangis lagi, bagaimana saya bisa pergi jika kamu menangis seperti ini," ucap Abian.

"Anya menangis bahagia, tenang saja," jawab Anya.

"Pergilah, Mas Abi harus hati-hati," tambah Anya kembali. Abian hanya mengangguk pelan dan mengusap pucuk kepala Anya. Rasanya berat sekali untuk pulang, tapi jika tidak pergi dan terus berada disini dia hanya akan menjadi beban untuk Anya dan nek Lastri. Abian harus pulang, dia harus sembuh seperti apa yang Raga katakan. Setelah itu, baru dia akan datang lagi sebagai lelaki yang bisa bergantian untuk menjaga dan melindungi Anya seperti apa yang telah gadis ini lakukan untuknya.

"Jaga diri kamu baik-baik ya," ucap Abian untuk yang terakhir kali.

"Iya," jawab Anya.

Setelah berpamitan, Raga dan Abian langsung masuk kedalam mobil. Anya melambaikan tangannya kearah Abian. Meski lelaki itu tidak bisa melihat, namun Anya bisa. Biarkan dia yang melihat, jika perpisahan ini begitu sakit. Waktu mereka bersama memang sebentar, tapi percayalah kenangan yang tercipta di setiap detik waktu itu tidak akan bisa Anya lupakan.

Dia melambaikan tangannya disaat mobil yang membawa Abian sudah mulai pergi. Pergi membawa Abian-nya dan meninggalkan dia sendirian.

Anya terisak, dia tertunduk dan menangis disana. Menangis meluahkan kesedihannya karena perpisahan ini.

"Ikhlaskan hati kamu, nak. Masa kita bersama dia sudah habis," ujar Nek Lastri. Anya semakin terisak dan langsung memeluk neneknya dengan erat.

Sekarang, mereka kembali berdua. Berdua dalam kehidupan yang begitu menyedihkan.

***

Sampai bertemu lagi Mas, dan jika pun kita tidak bisa bertemu lagi, semoga Mas Abi masih bisa mengingat nama Anya. Nama yang pernah hadir didalam hidup Mas Abi. Anya pasti akan sangat merindukan Mas Abi, merindukan semua kenangan yang pernah kita habiskan bersama.

- Anya -

MEMORI CINTA ZEYVANNOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang