Abian tertunduk lesu saat Raga dan Raymond menceritakan jika Anya tidak ada lagi di Desa Wareh. Bahkan Nek Lastri juga sudah meninggal sehari setelah kepergian Abian dari rumah mereka. Rasanya hati dan perasaan Abian menjadi tidak tenang sekarang. Daddy dan sepupunya ini baru saja tiba di rumah pagi ini dan malah membawa kabar buruk untuk dia.
Kemana perginya Anya jika dia tidak ada di sana? Anya hanya punya Nek Lastri, dan sekarang dia sudah terusir dari desa itu. Ah, Abian benar-benar tidak tenang memikirkan keadaan Anya saat ini.
"Padahal sewaktu kita pergi, bukankah Nenek baik-baik saja?" tanya Abian.
"Benar, kak. Tapi memang kesehatan Nek Lastri sudah tidak baik. Dian bilang jika Nek Lastri terjatuh saat akan mandi di sungai. Mungkin karena jantungnya yang lemah hingga dia bisa meninggal mendadak," ungkap Raga.
"Lalu, apa Dian tidak tahu kemana perginya Anya? Apa kamu juga sudah bertanya pada Satriya?" tanya Abian lagi. Wajahnya benar-benar menunjukkan kekhawatiran yang begitu mendalam. Membuat kedua orangtuanya begitu iba melihat putra mereka. Mereka tahu jika Abian pasti merasa bersalah dan kehilangan dengan kepergian orang yang sudah merawatnya itu.
Apalagi saat ini Abian hanya mengingat kedua orang itu saja. Ya, Zeyvanno Chaiden de Bartles masih merasa jika dia adalah Abian. Nama yang diberikan oleh seorang gadis baik hati yang bahkan belum sempat Abian lihat wajahnya tapi malah sudah pergi entah kemana.
"Satriya juga tidak ada di desa itu, kak. Kata Dian, lelaki yang sering membantu Anya itu memang sudah beberapa hari tidak ada di desa mereka. Jadi Dian sama sekali tidak tahu kemana perginya Anya," ungkap Raga.
Abian tertunduk lesu, hanya bibirnya yang bergetar bergumam menyebut nama Anya. Kemana dia? Kenapa tidak menunggu Abian datang?
"Tenanglah, nak. Daddy sudah meminta orang untuk mencari gadis itu. Mereka akan mencarinya sampai ketemu," ujar Raymond.
Zeylin mengusap bahu puteranya dengan lembut. "Sabar sayang, mungkin Anya yang kamu maksud itu masih pergi ke rumah keluarganya," ucap Zeylin pula.
Namun, Abian langsung menggeleng pelan. "Tidak, Mom. Anya tidak punya siapapun selain Nek Lastri. Dia sebatang kara," ungkap Abian, terdengar begitu sedih.
"Apa dia memang punya masalah hingga dia bisa terusir dari desa itu?" tanya Zeze pula, dia yang sejak tadi terdiam bersama Rein.
"Dia gadis yang baik," jawab Abian.
Zeze terdiam, semua orang yang ada di ruang tengah itu saling pandang canggung. Sebab Raymond dan Raga sudah tahu apa penyebab Anya bisa terusir dari desa itu.
Salah seorang warga di sana berkata jika Anya dianggap sebagai pembawa sial, apalagi dia yang sudah berani menampung seorang lelaki di rumahnya selama berbulan-bulan. Bukan itu saja, latar belakang keluarga Anya yang buruk juga mempengaruhi prasangka buruk warga desa pada Anya dan Neneknya.
Mereka tidak ingin Anya berbuat hal yang tidak-tidak di desa itu seperti apa yang pernah ibu Anya lakukan dulunya. Ya, Raymond mendapat kabar jika Anya adalah anak dari seorang pelacur, bahkan dia hidup tanpa seorang ayah. Ibu Anya meninggal karena penyakit mematikan. Selama ini warga desa hanya mengucilkan mereka di pinggir hutan karena masih memandang Nek Lastri yang sedikit banyak sudah membantu beberapa warga karena obat tradisionalnya. Tetapi, setelah Nek Lastri meninggal, mereka langsung mengusir Anya tanpa iba.
Semua sudah Raymond dan Raga ketahui. Bahkan seluruh warga desa berbicara seperti itu pada mereka ketika mereka mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Tetapi, baik Raymond maupun Raga tidak ingin membicarakan hal itu pada Abian. Bagaimanapun buruknya keluarga itu, Raymond dan keluarganya sudah berhutang nyawa dan berhutang budi pada mereka. Dan oleh karena itu, Raymond sudah mengirimkan orang-orangnya untuk mencari dimana keberadaan gadis itu.
Setidaknya untuk membalaskan semua kebaikan karena telah menolong putera mereka.
"Sudah, jangan pikirkan apapun sekarang. Daddy sudah mengirimkan orang-orang kita untuk mencarinya. Daddy tidak akan mengabaikan kebaikannya karena sudah menolong mu. Sekarang kamu cukup fokus pada pengobatan mu saja," ujar Raymond.
Abian menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. "Vanno mohon, tolong cari dia, Dad. Dia gadis yang baik, dia sendirian di luar sana," pinta Abian. Bahkan wajahnya begitu memelas saat ini. Membuat Zeylin dan Zeze menjadi tidak tega.
"Iya, Daddy akan berusaha nak. Kamu tahu kan, tidak ada jejak apapun yang bisa kita jadikan pedoman untuk mencari gadis itu. Fotonya tidak ada, bahkan tanda pengenal pun dia tidak punya. Ini cukup sulit, tapi kamu tenang saja, pasti akan Daddy usahakan," jawab Raymond.
Abian menghela nafas dan tertunduk sedih. Jika dia tahu begini kejadiannya, Abian pasti akan memaksa Anya untuk ikut dengannya waktu itu.
"Oh aku lupa," Raga berucap tiba-tiba hingga membuat semua orang langsung menoleh ke arahnya.
"Waktu itu Raga ada memberikan gadis itu kartu kredit, uncle. Mungkin dengan itu kita bisa melacak keberadaannya," ujar Raga.
"Oh benarkah. Nanti hubungi Steve, itu bisa menjadi petunjuk untuk mereka," sahut Raga.
Zeylin mengusap pundak Abian dengan lembut, seraya berbisik "tenang, ya," untuk menenangkan hati Abian yang memang sedang tidak baik-baik saja sekarang.
***
Sementara ditempat lain. Seorang gadis duduk di pinggir jalan dengan wajah sendu dan terlihat pucat. Matanya sembab dan penampilannya sangat kusut. Hanya tas usang yang dia peluk sejak tadi. Rasanya dia ingin mati saja sekarang. Tidak ada lagi semangatnya untuk tetap hidup. Sudah tiga hari dia terlunta-lunta di jalanan. Hanya berbekal sebotol air dan juga beberapa bungkus roti.
Nenek yang menjadi sandaran hidupnya kini telah pergi meninggalkan dia sendiri. Rumah gubuk yang menjadi tempatnya berteduh selama ini juga sudah tidak bisa lagi dia tinggali. Dengan teganya mereka membuat dia seperti sampah. Membuangnya dengan begitu jahat.
Anya menangis, menangis untuk yang kesekian kali. Menangisi nasib hidupnya yang begitu menyedihkan. Dia sendirian sekarang, dia tidak punya siapa-siapa lagi. Kemana Anya harus pergi? Kemana Anya harus berteduh? Dia sendirian, sendirian dalam rasa sakit yang rasanya sudah tidak bisa dia tahan.
"Anya!" Tiba-tiba suara seseorang membuat Anya sedikit terkesiap. Dengan wajah basah yang begitu menyedihkan dia mendongak. Memandang seorang lelaki yang memandangnya dengan pandangan sedih dan terkejut.
"Kamu kenapa disini?" tanya lelaki itu.
"Kang Satriya," Anya langsung beranjak, dia menangis dan memeluk Satriya dengan erat.
"Aku cari kamu kemana-mana. Semalam aku pulang dari kota, tapi aku dengar nenek udah gak ada dan kamu pergi dari rumah," ungkap Satriya. Lelaki baik yang sudah seperti kakak sendiri bagi Anya.
"Mereka jahat, mereka usir Anya dari sana, kang. Anya nggak tahu mau kemana," ungkap Anya dengan Isak tangis yang begitu pilu.
"Udah jangan sedih, kita ke kota aja. Bapak ku juga udah meninggal, aku sendirian sekarang," ujar Satriya.
Anya langsung melepaskan pelukannya dari Satriya. "Akang serius?" tanya Anya.
Satriya mengangguk pelan, matanya juga berkaca-kaca. "Iya, sekarang aku dan kamu udah sendiri. Kita berjuang sama-sama ya, gak boleh menyerah," ujar Satriya.
Mendengar perkataan Satriya, membuat Anya semakin ingin menangis.
"Kang Satriya, terima kasih. Terima kasih masih selalu ada untuk Anya," ucap Anya begitu haru.
"Hei, kamu itu udah seperti adikku sendiri Anya," jawab Satriya.
"Sekarang kita pergi, aku masih ada sedikit uang sisa jual tanah kemarin. Kita bisa gunain itu untuk biaya sewa rumah. Nanti kita cari kerja di sana," ujar Satriya lagi.
Anya mengangguk pelan. Dia sangat bersyukur karena ternyata masih ada orang baik di dunia ini. Dan sekarang, Anya harus bisa berjuang sendiri untuk hidupnya. Meski tidak mudah, tapi akan Anya lewati. Mencari uang untuk bisa bertahan hidup.
***
Tapi sayang, Anya melupakan kartu yang diberikan oleh Raga beberapa waktu lalu. Kartu yang seharusnya bisa menjadi petunjuk agar Abian bisa menemukannya. Namun, takdir harus berkata lain. Kartu itu tertinggal di rumah gubuk Anya. Dan akan tetap berada disana sampai rumah itu usang dan tak lagi terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMORI CINTA ZEYVANNO
RomanceAkibat kecelakaan parah yang dia alami membuat seorang Zeyvanno Chaiden de Bartles harus rela kehilangan ingatan dan penglihatannya. Bukan hanya itu saja, dia juga harus kehilangan keluarga dan kehidupannya. Beruntungnya ada seorang gadis baik hati...