13. The Hope of Redemption

225 4 0
                                    

Mata Adeline terbuka perlahan, seulas senyum lega terukir di bibirnya yang pucat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mata Adeline terbuka perlahan, seulas senyum lega terukir di bibirnya yang pucat. Meski rasa nyeri di lengan dan tubuhnya masih terasa, namun jauh lebih berkurang. Senyumnya semakin merekah melihat Daffa, sosok penyelamatnya duduk di sampingnya, menemani sejak dini hari menjadi malaikat pelindung di saat-saat sulit.

Adeline terbalut hangat dalam baju rumah sakit berwarna biru muda yang sederhana. Bahan katun itu lembut dan terasa nyaman di kulitnya, menyerap sisa keringat dari malam yang panjang. Baju itu sedikit longgar, namun cukup pas menutupi tubuhnya. Rasa aneh memang masih terasa, karena kesekian kali harus mengenakan baju itu di tahun yang berbeda bersama Daffa walau beda warna.

"Kak Daffa lagi nonton TV, ya?"

Di kamar yang senyap, Adeline mendudukkan tubuhnya di ranjang rumah sakit yang empuk. Lengan kanannya tertaut dengan jarum infus yang mengalirkan cairan bening. Di meja samping ranjang, vas bunga lili putih mekar dengan indahnya, menyebarkan aroma harum yang menyegarkan. Sinar matahari pagi yang lembut menerobos jendela, membelai selimut putih yang menutupi tubuhnya dan membentuk bayangan samar di dinding. Pagi ini, jarum jam dinding di sisi ruangan sudah menunjuk pukul 10.00. Di sudut ruangan, televisi menyala dengan volume kecil.

"Kak, seru banget ya nonton TV-nya? Kok aku manggil nggak dengar?"

Suara lemah Adeline terdengar. Kemudian, dia meraih telapak tangan Daffa dengan tangan kanannya yang masih bebas, lalu menggenggamnya dengan erat. Daffa menoleh dan menatap Adeline dengan terkejut. Matanya melebar dan wajahnya berubah pucat. Dia langsung menarik tangannya dengan cepat, membiarkan tangan ringkih itu jatuh ke atas tempat tidur.

"Maaf," kata Daffa dengan suara parau. "Enggak baik kamu memegang tanganku seperti tadi."

Adeline terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia merasa terluka dan kecewa. Apakah Daffa benar-benar jijik padanya?

"Kenapa? Apa karena aku kotor?" tanya Adeline dengan suara yang lirih, menutupi badannya dengan selimut.

Daffa terdiam sejenak, menghela napas berat, lalu menggigit bibir bawahnya keras. Berusaha jawab, tetapi terdengar gugup.

"Nggak, Adeline. Kamu nggak kotor," jawabnya. "Aku hanya...."

"Aku mengerti," kata Adeline dengan suara yang bergetar. "Kakak jijik sama aku."

Daffa menatap Adeline dengan penuh penyesalan. "Bukan...," sangkal Daffa panik. "Aku hanya...."

Suara Daffa terpotong lagi oleh suara ketukan di pintu kamar. Seorang perawat masuk dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman untuk Adeline.

"Selamat pagi, Mbak Adeline dan Mas Daffa," sapa perawat itu. "Ini sarapan untuk Mbak Adeline."

Perawat itu meletakkan nampan di atas meja sebelah tempat tidur Adeline. Nampan itu berisi nasi goreng, telur mata sapi, dan segelas susu. Aroma nasi goreng yang gurih dan telur mata sapi yang menggoda selera segera memenuhi ruangan.

Crash Into You (On going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang