16. The Ice King

185 4 0
                                    

Malam itu, Adeline terjebak dalam lamunan, ingatannya melayang kembali ke hari pertama bertemu Bian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam itu, Adeline terjebak dalam lamunan, ingatannya melayang kembali ke hari pertama bertemu Bian. Lampu panggung menyilaunya, memantul dari rambut Bian yang pirang keemasan dan kulit kecokelatannya. Gingsul taringnya yang kecil dan tahi lalat lucu di bawah mata memancarkan aura nakal menawan. Adeline merasa seperti tersedot ke dalam pusaran karisma ketampanannya, Cinderella yang menemukan pangeran impiannya di balik sorotan lampu panggung, pentas seni sekolah.

"Aahhh, ganteng banget." Adeline menggigit jarinya, jantungnya berdebar kencang seperti drum solo saat sorotan lampu panggung menyapu Bian. Rambut ikal keemasannya berantakan sempurna, kulit kecokelatan sehat terbias cahaya, dan senyumnya... ah, senyumnya itu seperti matahari terbit di tengah malam. Gingsul taring kecilnya mengintip saat dia tertawa dan tahi lalat di bawah mata kirinya seolah menyimpan rahasia. Suaranya, Ya Tuhan, suaranya. Setiap nada yang meluncur dari bibirnya terasa seperti belitan sutra, lembut namun kuat, membungkus Adeline dalam mantra magis.

"Aaaah, Bian suara kamu bagus banget. Yang lain juga keren...."

Di atas panggung, Bian berdiri di tengah empat orang lainnya. Mereka semua mengenakan pakaian yang kasual dan santai, sesuai dengan genre musik mereka yang indie rock. Bian mengenakan kaos oblong hitam dengan gambar tengkorak di dadanya, celana jeans robek biru tua, dan sepatu kets hitam. Gitar akustiknya tergantung di bahunya dan mic clip on; mikrofon kecil terpasang di mulutnya.

Anggota band lokal The Black Door lainnya juga terlihat menarik dan berkharisma. Gitaris mereka yang bernama Aji, memiliki rambut hitam panjang yang dikuncir ekor kuda. Basis mereka yang bernama Reno, memiliki rambut keriting coklat yang rapi. Dan drummer mereka yang bernama Dimas, memiliki rambut cepak hitam dan tato di lengannya. Terakhir, Andita, pianis cewek tomboy satu-satunya, berambut pendek dan nyentrik.

"Gak bisa, gak bisa. Ini terlalu bagus. Aahh dia liat aku, Bian notice aku ...."

Dia lupa bernapas saat Bian menoleh, mata cokelatnya yang dalam menemukan Adeline di kerumunan. Senyumnya melebar, hanya untuknya. Adeline merasakan pipinya panas, jantungnya nyaris melompat keluar. Dia bukan gadis cengeng, tapi saat itu, dia ingin menangis karena terpesona, apalagi dia tidak mengira bahwa Bian melambai ke arahnya, menyuruhnya untuk naik ke atas panggung untuk tampil bersamanya.

"Hallo, itu yang pakai dress merah, ayo naik ke atas sini...."

Bian melambaikan tangannya ke arah Adeline, mengundangnya untuk naik ke atas panggung. Adeline membeku sebentar, kemudian dia naik ke atas panggung, menuju ke arah Bian. Dia lalu menjulurkan tangan, mata indahnya memancarkan binar.

Adeline nyaris pingsan saat jemari mereka bersentuhan. Aliran listrik seakan mengalir dari kulit Bian ke dalam dirinya.

Bian tersenyum lembut, matanya berbinar. "Hai," katanya. "Kamu tadi berteriak dan bertepuk tangan paling keras. Makasi banyak, ya."

Crash Into You (On going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang