32. More Than a Feeling

45 1 0
                                    

Daffa berdiri di sudut ruang tamu yang agak temaram, menyandarkan tubuhnya ke dinding sambil memandangi Adeline yang duduk diam di sofa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Daffa berdiri di sudut ruang tamu yang agak temaram, menyandarkan tubuhnya ke dinding sambil memandangi Adeline yang duduk diam di sofa. Ruangan itu sepi, hanya ada suara detak jam yang pelan, seakan ikut menghitung waktu di tengah suasana yang terasa berat. Di samping Adeline, Misya adiknya duduk sambil menggenggam tangan Adeline dengan lembut. Bibir Misya terus bergerak, melontarkan kata-kata yang terdengar samar di telinga Daffa. Sesekali, Adeline mengangguk, tapi matanya yang sayu dan memar di sudut, mengisyaratkan kesedihan yang sulit ia sembunyikan.

Sebenarnya, Daffa bukan tipe yang suka ikut campur urusan orang lain. Tapi, melihat Adeline dalam keadaan seperti ini membuat hatinya gelisah. Ia ingin memastikan Adeline baik-baik saja, meski takut tindakannya dianggap berlebihan. Terlebih lagi, jika Misya tahu bahwa ia secemas ini, bisa-bisa Daffa jadi bahan ledekan sepanjang hari.

Namun, untunglah, begitu Misya beranjak untuk mengambil selimut di kamar, Daffa melihat kesempatan yang ditunggu-tunggu. Ia menarik napas dalam, menggenggam tongkatnya lebih erat mencari keberanian. Perlahan, Daffa mendekat dan duduk di kursi di sebelah Adeline, berusaha memasang ekspresi tenang walau jantungnya berdebar keras.

"Kamu udah mendingan?" tanya Daffa singkat, berusaha membuat nadanya terdengar datar mungkin untuk menyembunyikan debaran di dadanya. Tatapannya sekilas melirik ke arah Adeline, lalu cepat-cepat berpaling lagi, takut perasaannya ketahuan.

"I-iya, Kak," Adeline mengangguk, senyum tipis muncul di wajahnya. "Aku nggak apa-apa, Kak. Makasih, ya," katanya lembut, mencoba menggenggam tangan Daffa sebagai tanda terima kasih.

Daffa sedikit tersentak dan cepat-cepat menarik tangannya, berpura-pura sibuk merapikan baju.

"Ya," jawab Daffa singkat, agak terbata-bata. "Kalau begitu ... jangan mikirin yang sedih-sedih. Istirahat aja," gumamnya mengalihkan pandangan, menghilangkan rasa gugupnya.

Misya yang baru kembali dengan selimut di tangan langsung menyadari perubahan kecil itu. Dengan senyum jahil, ia menggoda kakaknya, "Cie, Kak Daffa. Peduli banget sih sama Adeline."

Daffa terkejut, langsung berdiri, wajahnya memerah. Panik!

"Biasa aja," jawabnya cepat, suaranya sedikit tercekat, berusaha tetap tenang walau pipinya merona. Ia menghindari tatapan Misya yang terus meledek, menyembunyikan wajahnya dengan cepat.

"Ciee, malu," goda Misya dengan senyum lebar, sambil membalutkan selimut ke tubuh Adeline. Sementara itu, Daffa buru-buru keluar dari ruang tamu, berusaha mengendalikan diri. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia berhenti sebentar, menoleh ke Adeline.

"Kalau butuh apa-apa, panggil aja."

Namun, sepertinya Misya dan Adeline tidak mendengar. Misya malah asyik bercanda, sementara Adeline hanya memejamkan mata, menikmati perhatian dari Misya. Melihat itu, rasa kesal kecil muncul di hati Daffa. Jantungnya berdebar lebih cepat, merasa ucapannya diabaikan.

Crash Into You (On going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang