Matahari sore dicorat-coret asap knalpot, meninggalkan noda merah pekat di langit kota. Adeline mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang nyaris ugal-ugalan, pedal gas ditekan sekuat amarah yang mendesak dadanya. Obrolan teman-temannya masih bergema di telinganya, setiap kalimat bagai pecahan kaca menusuk-nusuk hatinya.
"Pacaran? Murahan!"
Seruan itu menggema di kepalanya, diiringi tawa-tawa yang terasa seperti ejekan. Adeline menggigit bibirnya menahan tangis. Keadaan ini sungguh ironis. Bayang-bayang Bian, pacarnya yang seharusnya menjadi tempat berlabuh, kini justru menjadi sumber badai.
Tangannya yang gemetar menggenggam kemudi. Aspal berkelok-kelok di hadapannya tampak kabur, terhalang oleh kabut air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Dia ingat janji-janji manis Bian, perkataan cintanya, dan sentuhan lembutnya yang dulu, sekarang terasa seperti penghinaan. Tak ada harga diri, layaknya wanita gampangan.
"Berengsek!"
Adeline memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Matahari terbenam di balik gedung-gedung tinggi, meninggalkan langit yang berwarna jingga kemerahan. Adeline tidak menghiraukan pemandangan indah itu. Dia hanya fokus pada jalanan yang berkelok-kelok di hadapannya dan suara-suara sumbang yang menginjak harga dirinya.
"Yoi, pacaran itu murahan, apalagi sampai tidur dan hamil duluan."
Adeline mengepalkan kemudi, kuku-kukunya memutih. Dia ingin berteriak, tapi suaranya tersangkut di kerongkongan. Rasa nyeri memenuhi dadanya, terasa berat dan sesak.
Tiga orang teman Adeline duduk di taman sekolah sore itu, asyik membicarakan tentang bahaya pacaran. Adeline duduk di sebuah bangku kayu, mendengarkan obrolan mereka. Dia merasa tersindir, walaupun teman-temannya belum tahu bahwa dia sempat pernah hamil dan keguguran akibat hubungan pergaulan bebasnya dengan Bian, pacarnya.
"Aku setuju, aku juga nggak support konsep pacaran. Soalnya, pacaran itu kan beresiko zina. Apalagi kalau sampai body kita yang montok ini kasih ke cowok yang belum tentu jodoh kita. Duh, nggak banget. Mending jomblo seumur hidup, kan?"
"Well, makanya, kita harus concern, sih. Selagi kita masih sekolah. Say no dulu untuk free sex. Kasian orang tua. Masa kita jadi sampah."
Kata-kata terakhir temannya bagai peluru yang menembus dada Adeline, memporak-porandakan hatinya. Dunianya runtuh seketika. Pikirannya kacau balau. Satu-satunya hal yang dia tahu, dia harus pulang dan bersembunyi dari badai emosi yang menerjangnya. Jujur, dia sangat tersindir dan belum bisa menerima kenyataan bahwa pria yang dicintainya hanya menginginkan tubuhnya saja, apalagi dianggap sampah.
Adeline berteriak sekeras - kerasnya. "Berengsek! Aku nggak percaya aku bisa pacaran sama cowok sange begitu!"
Adeline melajukan Ferrari merahnya sekencang mungkin, berusaha menembus kemacetan lalu lintas yang semakin padat. Kendaraan-kendaraan di depannya berderet rapi, seperti ular raksasa yang tak bergerak. Adeline membuka jendela mobilnya, membiarkan udara sore yang dingin dan lembap menampar wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crash Into You (On going)
RomanceAdeline, gadis muda yang cantik merasa hidupnya hancur karena hubungan cinta yang beracun. Dia tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Apakah dia akan mampu menemukan cinta sejatinya dan bangkit kembali?