28. Hide and Seek

106 1 0
                                    

Air mata mengalir di pipi Adeline, tapi tak ada suara yang keluar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Air mata mengalir di pipi Adeline, tapi tak ada suara yang keluar. Hanya kesunyian yang tersisa. Apartemen yang dulu dipenuhi tawa kini berubah menjadi tempat penyiksaan.

"Kenapa kamu sejahat ini?" gumamnya di antara isakan. "Apa aku harus mati dulu biar kamu puas?"

Tatapannya jatuh pada pergelangan tangan yang bengkak. Setiap gerakan membawa rasa sakit, mengingatkan pada kekerasan Bian. 

"Berapa lama lagi aku bisa bertahan?" gumamnya lemah, suaranya parau karena kekurangan cairan. Pandangannya kosong, tertuju pada langit-langit yang tampak megah. Di lantai dingin, botol air mineral setengah kosong dan sepotong roti basi tergeletak, menjadi saksi bisu dari penderitaannya. Dia tidak ingat sudah berapa hari terkurung—dua hari? Tiga hari?

"Sakit..." 

Dia mencoba bergerak, namun rasa sakit di perutnya langsung menghentikannya. Tendangan yang ia terima tadi begitu kuat, seakan menghancurkan tubuhnya dari dalam. Dengan tubuh gemetar, ia memeluk diri sendiri, meringkuk di sudut ruangan, berusaha membuat dirinya sekecil mungkin. Pipinya bengkak, bibir pecah-pecah, dan memar ungu memenuhi tubuh yang lemah. Setiap gerakan hanya memperparah rasa sakit.

Tiba-tiba, pintu terbuka dengan keras, membuat jantung Adeline berdegup kencang. Dia cepat-cepat duduk tegak, matanya terpaku pada sosok tinggi yang berdiri di ambang pintu. Bian masuk dengan langkah santai, mengenakan kemeja gelap kusut dan celana panjang hitam. Tatapannya dingin, langsung tertuju pada Adeline yang meringkuk di pojok ruangan.

"Jangan... jangan ke sini," suara tercekat di tenggorokan. Rasa takut merambat di seluruh tubuhnya, jari-jarinya gemetaran mencengkeram lutut yang lemah.

"Jangan ke sini. Aku takut," batinnya lagi.

Napasnya semakin cepat saat Bian mendekat. Setiap langkahnya terdengar seperti dentang bel kematian di telinga Adeline. Ketika Bian sudah berdiri tepat di depannya, tangan besar pria itu mencengkeram dagu Adeline dengan keras. Jari- jarinya yang kuat memaksa gadis itu mendongak, menatap wajahnya yang menyeramkan.

"Nangis lagi? Dasar cengeng!" Bian menjitak kepala Adeline pelan, tapi cukup membuatnya gemetar ketakutan. "Dengar baik-baik. Kamu pikir bisa lolos dariku? Kamu pikir orang sepertimu bisa keluar dari sini dengan mudah?"

Bian tersenyum sinis, jemarinya yang kuat kembali mencengkeram rahang Adeline, membuatnya kesakitan.

"Kamu itu nggak lebih dari wanita murahan. Jika aku mau, aku bisa menjualmu sekarang juga. Siapa yang akan peduli? Siapa yang akan menolong?"

Darah Adeline membeku. Matanya membulat sempurna, menangkap niat jahat dari maksud Bian.

"Kalau aku benar-benar menjualmu, menurutmu berapa hargamu? Sepuluh juta? Lima puluh juta?"

"Ja-jangan..." gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. "Tolong, Bian... jangan..." Bibirnya bergetar, napasnya tercekat, namun kepala Bian semakin mendekat, menyeringai lebih lebar.

Crash Into You (On going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang