Adeline, gadis rambut sepunggung, mengenakan dress putih yang anggun, duduk di sebelah Bian, seorang pria tampan berambut ikal memakai kemeja biru muda. Mereka saling menggenggam erat, jari-jari bertautan memandang ke arah layar besar bioskop. Meskipun layar film telah diputar, salah satu dari mereka sesekali melirik diam-diam dengan sunggingan manis di wajahnya. Ada sebuah kekaguman yang terpancar di matanya.
"Aduh, senangnya punya pacar tampan," batin Adeline.
Gadis itu merasa sangat bahagia dan gugup di kencan pertamanya dengan Bian. Mereka memilih kursi paling pojok di bioskop mewah agar bisa lebih leluasa mengobrol. Adeline tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Bian, pria bertubuh tegap dengan postur yang gagah yang duduk di sebelahnya. Dalam kegelapan, wajah Bian tampak semakin tampan dengan garis rahang yang tegas dan hidung mancung yang menjulang tinggi. Adeline merasa sangat beruntung memiliki Bian sebagai kekasihnya.
Tiba-tiba, Bian menoleh ke arah Adeline dan tersenyum. Adeline membalas senyumnya dan mereka saling menatap satu sama lain. Bian bisa melihat cinta di mata Adeline dan dia mengakui bahwa dia juga jatuh cinta sama Adeline.
Layar besar di depan mereka menyala dengan gambar-gambar yang indah. Mereka tenggelam dalam cerita yang sedang diputar, tapi kadang-kadang mata mereka bertemu dan tersenyum satu sama lain lagi. Tangan Adeline gemetar dan dia menggenggam tangan Bian lebih erat lagi.
Adeline menarik napas dalam-dalam, menatap Bian lembut. "Bian....," bisik Adeline.
Bian yang tengah terperangah oleh hembusan napas milik Adeline, segera memfokuskan wajahnya menatap pacarnya tenang. "Iya?" sahut Bian lembut.
Terkesima mendengar suara keren Bian. Adeline tersenyum malu-malu. Matanya berkilat dalam kegelapan. "Aku mau ngomong, boleh?"
"Boleh dong, Sayang. Kamu mau ngomong apa?" tanya Bian lembut, menggoda Adeline.
"Anu, aku .... aku...," kata Adeline dengan suara pelan dan suaranya bergetar karena gugup.
Bibir Bian tersenyum lebar. "Aku juga cinta kamu, kok, " timpalnya dengan suara penuh perasaan.
"Ha?"
Adeline mengangkat matanya dan ekspresi wajahnya berubah dari gugup menjadi berbinar. Dia merasakan kehangatan dalam kata-kata Bian, seperti selimut hangat yang menyelimuti dirinya di tengah malam yang dingin. Sebuah senyuman bahagia mekar di bibirnya dan matanya berbinar seperti bintang di langit malam. Jantungnya berdebar kencang merasa seperti sedang terbang di atas awan.
"Ihh, aku belum ngomong tau." Adeline mencubit pinggang Bian gemas.
Pria itu sedikit tersentak karena kejutan cubitan itu, tapi wajahnya masih penuh dengan senyuman. "Hei, itu sakit, Sayang," keluhnya sambil mencoba menahan rasa sakit.
Adeline tertawa kecil, merasa gemas dengan reaksi Bian. "Maaf, Sayang. Aku nggak nyubit keras, kok."
Bian hanya menggeleng sambil tertawa dan memeluk Adeline erat. Keduanya merasakan kehangatan dan kebahagiaan di momen indah mereka.
"Tapi kamu mau ngomong itu, kan? Aku tau, Sayang."
Punggung Bian sedikit membungkuk dan mengecup pipi Adeline dengan lembut. Adeline menutup matanya dan menikmati momen itu. Ciuman itu terasa seperti mimpi. Adeline merasakan sensasi yang luar biasa dan dia tidak ingin ciuman itu berakhir. Akan tetapi Bian malah melepaskan ciuman mereka.
"Aku juga cinta kamu, kok," sahut Bian lagi.
Mata Adeline terbuka perlahan dan saat matanya bertemu dengan mata Bian, kilatan cinta dan kekaguman terpancar di dalamnya. Tidak ada kata - kata yang perlu diucapkan, ekspresi di mata mereka sudah cukup. Adeline bisa merasakan getaran emosi di antara mereka dan dia tahu saat itu bahwa dia telah menemukan seseorang yang spesial dalam hidupnya.
"Kamu, ih. Dasar nakal. Sok tau lagi."
"Tapi suka kan aku cium?" goda Bian.
Pipi Adeline memerah, ciuman mereka menjadi momen yang penuh perasaan hangat. Mereka tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang indah di antara mereka. Sebuah cinta yang akan selalu menyatukan mereka.
Setelah ciuman mereka yang indah, Adeline memutuskan untuk membuka topik pembicaraan lain.
"Bian, filmnya gak seru. Aku lebih suka liat kamu."
"Aku juga. Aku lebih suka liat kamu. Tapi filmnya kan juga harus ditonton. Kan kita uda keluarin uang, Sayang."
"Iya, aku tau." Adeline mengangguk sambil tersenyum, sedangkan Bian merespons dengan lembut, mencubit pipi Adeline sekilas.
"Sekarang buka mulutnya?"
Kepala Adeline menoleh ke arah Bian dan Bian mengulurkan popcorn ke mulutnya. "Coba, Sayang. Popcorn dari tanganku pasti lebih enak. Benaran, deh," katanya.
Senyum Adeline mengembang, lalu dengan lembut menggigit popcorn yang ditawarkan Bian. Mereka saling menyuapi popcorn satu sama lain, membuat momen itu semakin mesra dan penuh rasa bahagia.
Mereka berdua tertawa ringan, menikmati momen kecil mereka di bioskop yang gelap. Meskipun filmnya tidak begitu menarik, kebahagiaan mereka bersama membuatnya menjadi pengalaman yang tak terlupakan.
Namun tiba-tiba sebuah pesan singkat bergetar dari ponsel Adeline sehingga mengganggu momen romantis mereka. Adeline meraih ponselnya dan membaca pesan itu. Wajahnya berubah khawatir.
"Bian, maafkan aku. Aku harus pergi. Ini darurat," ujarnya dengan suara yang penuh gemetar.
Bian menatapnya dengan raut kebingungan. "Darurat? Tapi kita sedang...."
Dengan cepat, Adeline mengangkat jari telunjuknya, menempelkannya ke bibir Bian dan berkata, "Nanti kita sambung lagi, ya. Aku janji," ucapnya memberikan ciuman terakhir, lalu segera bangkit dan berlari keluar bioskop, meninggalkan Bian dengan kekecewaan yang dalam.
"Hah...."
Mencoba sabar, Bian menarik napas dalam-dalam. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada Adeline. Pacarnya terlihat khawatir, tapi dia tidak tahu kenapa. Bian ingin membantu tapi tidak bisa.
"Lebih baik aku keluar. Mudahan Adeline belum jauh."
Tubuh Bian bangkit dan berjalan keluar dari bioskop. Memutuskan untuk mengikuti Adeline untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja.
Di luar bioskop, Bian melihat sebuah mobil berhenti di pinggir jalan. Seorang pria keluar dari mobil dan merangkul Adeline. Bian merasa sedih dan marah. Dia tidak tahu siapa pria itu, lalu mengapa Adeline pergi bersamanya?
Bian berdiri di tepi jalan yang gelap, memandang mobil yang menjauh. Lampu jalan yang redup hanya menyoroti sebagian kecil dari jalan yang terbentang di depannya. Angin malam yang dingin membuat bulu kuduknya bergidik.
"Dia mau pergi ke mana dengan cowok itu?" desis Bian dalam hati, mata tajamnya tetap memperhatikan mobil yang menjauh.
"Aku harus ikutin mereka."
Tanpa ragu. Bian memutuskan untuk mengikuti mobil itu. Dia harus tahu apa yang terjadi dengan Adeline.
Tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
Crash Into You (On going)
RomanceAdeline, gadis muda yang cantik merasa hidupnya hancur karena hubungan cinta yang beracun. Dia tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Apakah dia akan mampu menemukan cinta sejatinya dan bangkit kembali?