1

94 15 3
                                    

Ting!

"Bunda, ambilin roti bakar Juju dong!"

Junghwan saat ini sedang tengkurep di atas sofa ruang tamu. Jempol kanannya bergerak ke atas menggeser tulisan-tulisan pada layar ponselnya. Manik matanya mengikuti arah jarinya bergerak. Dia menemukan posisi ternyamannya.

Sebuah roti bakar yang masih hangat tersodor di depan wajahnya, menghalangi pandangannya pada layar ponsel. Tanpa repot-repot menoleh, Junghwan mengambil roti tersebut dan langsung melahapnya. Dia melanjutkan kegiatan membaca materi lewat ponselnya.

"Sama-sama."

Gerakan mulutnya berhenti. Bukan suara bundanya, jelas itu suara laki-laki. Tanpa menoleh pun sebenarnya Junghwan tau siapa yang berbicara padanya tadi, tapi dia tetap menoleh dan mendapati sang kakak sulung yang sudah anteng duduk di sofa di sampingnya sambil membaca buku.

"Lain kali ambil sendiri atau tunggu sampek rotinya matang. Kasihan bunda lagi sibuk masih aja kamu suruh-suruh."

Suasana hatinya berubah buruk, pemandangan sang kakak sulung saja sudah membuatnya kesal, ditambah lagi kakaknya itu mengomelinya di pagi buta seperti ini. Junghwan memutuskan untuk mengubah posisinya menjadi duduk.

"Aku juga gak nyuruh kakak ngambilin rotiku."

"Emang, kan kamu nyuruhnya bunda."

Buku di tangan si sulung ditutup dengan agak keras. Bunyi tubrukan kertas-kertas itu pun sampai terdengar di telinga Junghwan. Jika Junghwan menatap sinis, si sulung justru menatap sendu. Ada kerinduan terpancar dari tatapan si sulung.

"Maaf hari ini kakak gak bisa nganter kamu sekolah. Gakpapa kan berangkat sendiri?"

Lagi-lagi hanya decakan sebal yang didapatkan si sulung. Entah dari adiknya atau pun dari si bungsu, keduanya memberikan respon yang sama terhadap sikapnya.

"Ada Kak Haru."

Kalimat yang sedikit membuat si sulung lega. Ternyata kedua adiknya cukup akrab, dia beberapa kali melihat keakraban mereka akhir-akhir ini. Setidaknya adik-adiknya tidak kesepian seperti dirinya.

"Yoshi, hari ini kamu gak kuliah kan? Temenin bunda ke pasar, ya?"

Teriakan sang bunda dari arah dapur berhasil mencairkan ketegangan antara keduanya. Yoshi memilih beranjak ke dapur menghampiri sang bunda yang tadi meminta tolong padanya. Sebelum pergi, tidak lupa Yoshi mengusap pucuk kepala Junghwan. Itu sudah menjadi kebiasaannya, meskipun adiknya sekarang tidak menyukai kebiasaannya itu.

Sepertinya itu hanya pemikiran Yoshi. Karena buktinya sekarang Junghwan menyentuh kepalanya yang tadi bekas usapan tangan Yoshi. Junghwan mengelus kepalanya sendiri, tangannya menggenggam seolah ada tangan lain di antara jari-jarinya. Junghwan menatap ke arah Yoshi yang sedang sibuk membantu bundanya bersih-bersih.

Junghwan juga rindu. Junghwan menyukai tindakan kakak sulungnya yang selalu memanjakannya. Junghwan ketagihan mendapat perhatian dari sang kakak sulung, tapi dia terus menolaknya.

Junghwan tidak tau ada apa dengan dirinya. Di satu sisi dia menikmati perlakuan kakak sulungnya. Di satu sisi dia merasa jika perlakuan kakak sulungnya itu terlalu kekanakan. Kakaknya yang satu lagi selalu saja mengejeknya seperti anak kecil. Junghwan tidak suka, Junghwan bukan anak kecil lagi.

Melihat bagaimana hubungan kedua kakaknya, Junghwan sedikit demi sedikit meniru segala sesuatu yang dilakukan oleh kakak keduanya. Bagaimana sang kakak selalu menolak segala afeksi dari si sulung dan bagaimana dia yang semakin hari semakin mirip dengan kakak keduanya. Selain mirip dalam hal wajah dan postur tubuh, mereka juga mirip dalam hal nasib. Keduanya tidak suka dimanjakan, tapi mereka lebih suka memanjakan.

○○○

"Yosh, aku ada kerjaan buat kamu."

"Apaan emang?"

Tangannya sibuk memisahkan belanjaannya dan mengelompokkan sesuai kategori jenis dan cara penyimpanannya. Yoshi baru saja pulang dari mengantar bundanya belanja di pasar. Sekarang tugasnya memasukkan belanjaannya ke kulkas selagi sang bunda bersih-bersih rumah.

"Gantiin aku ya, les privat yang pernah tak ceritain itu loh."

"Lah emang kamu mau ke mana?"

Satu per satu barang belanjaan itu dia masukkan ke kulkas dengan tatanan yang rapi. Tidak boleh asal menata kalau tidak mau disemprot omelan bundanya.

"Capek, Yosh. Jaraknya jauh banget dari kosan. Setengah gajiku abis buat transport. Kalo dari rumah kamu kan lumayan deket."

"Ya nanti aku pikirin lagi."

"Oke, Yoshi."

Sambungan telpon itu diputus oleh orang di seberang. Yoshi menghela nafas lalu berdiri dan menutup pintu kulkas. Pekerjaannya pagi ini sudah selesai. Waktunya bermalas-malasan di dalam kamar sambil memikirkan jawaban dari tawaran temannya tadi.

Mengunci pintu dari dalam dan memilih merebahkan dirinya di atas kasurnya yang empuk. Yoshi memeluk gulingnya dan tatapannya lurus ke arah langit-langit kamar.

Dipikir-pikir lumayan juga tawaran temannya tadi. Yoshi jadi punya kegiatan di luar selain kegiatan di kampus. Yoshi juga akan semakin jarang bertemu dengan adiknya. Ah bukan maksudnya tidak menyukai adiknya, tapi kan mereka tidak ingin berlama-lama dengannya.

Kalau Yoshi terima tawaran temannya tadi, Yoshi juga jadi punya penghasilan sendiri. Sekalian belajar bagaimana caranya menghadapi siswa sebelum nanti dia benar-benar terjun di dunia kerja. Lagi pula pekerjaan ini satu jalur dengan jurusan yang dia ambil.

Oke, Yoshi sudah memutuskan. Dengan segera dia mengirim pesan pada temannya dan mengatakan keputusannya. Tidak berselang lama, ada pesan masuk yang berisi biodata siswanya beserta alamat dan jadwal privat.

Ah, siswa kelas 3 SMA. Seumuran dengan adiknya. Bukan sekolah adiknya, tapi sekolah itu berhadapan dengan sekolah sang adik. Mungkin adiknya kenal dengan calon siswanya itu, tapi semoga saja mereka tidak saling kenal. Yoshi ingin menikmati kegiatan barunya.

TBC

AttentionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang