2

87 16 4
                                    

Prang!

Telinga Yoshi mendengar suara gaduh dari luar. Mata yang terpejam itu berkedip, namun enggan terbuka. Dia masih mengantuk, malas untuk memulai keributan di pagi buta. Jadi, dia memilih untuk merapatkan selimutnya dan mencari kenyamanan dari pelukan gulingnya.

"Kak Yoshi!"

Oke, sepertinya hari-hari Yoshi tidak pernah tenang barang sedetik pun. Mata yang masih mengantuk itu dia paksakan untuk terbuka. Dia melangkah tergesa menuju sumber suara.

Langkahnya semakin cepat kala mengetahui penyebab kegaduhan. Dia menghampiri adik bungsunya yang berdiri mematung di depan meja makan. Helaan nafas terdengar lebih dulu, ingin rasanya mengutarakan rentetan kalimat kesal pada sang bungsu.

"Jangan bergerak!"

Tapi cuma dua kata itu yang berhasil lolos dari bibir Yoshi.

Sekarang ini keadaan ruang makan sangat kacau. Entah apa yang adik bungsunya itu lakukan, tapi ada banyak pecahan piring beserta isinya berserakan di lantai. Si bungsu sudah ingin menangis, tapi Yoshi menyuruhnya untuk menunda tangisnya dulu. Setidaknya sampai Yoshi selesai membersihkan kekacauan ini.

"Kak Yoshi, maaf."

Si bungsu langsung menghambur ke pelukan Yoshi begitu dia selesai bersih-bersih. Ruangan yang sunyi membuat tangisnya terdengar lebih keras. Yoshi dengan kelembutannya mengusap punggung sang bungsu, berharap bisa menenangkannya.

"Gakpapa. Udah kakak beresin."

Yoshi tersenyum tipis. Pelukan si bungsu terlalu erat padanya, membuatnya sedikit kesusahan bernafas. Tetapi Yoshi justru senang karena adiknya yang memeluknya lebih dulu. Rasanya Yoshi tidak ingin menyudahi pelukan mereka.

"Ribut banget, ada apa?"

Yoshi menoleh ke arah tangga. Dapat dilihat bahwa sang adik baru saja bangun tidur. Dia berjalan menghampiri kedua saudaranya. Melihat sang bungsu masih menangis dalam pelukan Yoshi, membuatnya ikut menyandarkan kepalanya di pundak Yoshi. Dia kembali tidur.

Astaga, enak sekali kedua adiknya ini. Satunya minta peluk, satunya minta senderan. Dalam posisi berdiri, ini membuat Yoshi kesusahan. Bahu kanan kirinya terasa pegal karena mendapat beban besar dari tubuh adik-adiknya, Junghwan kanan dan Haruto kiri.

"Ju?"

Tidak ada jawaban.

"Haru?"

Tidak ada jawaban juga.

Yoshi jengah. Memang benar dia menikmati suasana saat adiknya manja dengannya, tapi ini berlebihan. Kaki Yoshi pegal berdiri terus. Tangannya juga kebas karena tumpuan adiknya pada bahunya. Ditambah lagi ini sebentar lagi dua adiknya harus berangkat sekolah.

"Kalian nggak sekolah?"

Haruto yang pertama bangun. Dilihatnya sekitar sampai pandangannya bertemu dengan mata si sulung. Reflek dia mendorong tubuh kakaknya yang sangat dekat dengannya. Dan membuat si bungsu ikut terbangun.

"Ngapain deket-deket!"

Haruto langsung melenggang pergi tanpa mendengar jawaban dari Yoshi. Sedangkan Junghwan mulai kembali mendapatkan kesadarannya. Matanya bengkak, hidungnya merah.

"Kak Yoshi ngapain di sini?"

Yoshi menahan tangan Junghwan yang terus mengucek matanya. Mata bengkak itu diusap lembut dengan kedua ibu jarinya. Senyum tulus Yoshi berikan pada sang adik yang masih menatapnya heran.

Hal selanjutnya sudah bisa Yoshi tebak. Tidak jauh berbeda dengan Haruto, Junghwan juga langsung menepis tangan Yoshi yang menyentuhnya. Junghwan segera menuju kamarnya untuk siap-siap ke sekolah. Meninggalkan Yoshi yang kembali melamun.

AttentionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang