Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Keempat pria itu masih duduk disana termenung menatap kosong rumput penuh bunga dengan papan bertuliskan nama seseorang yang sangat mereka kenal.
Matahari yang semula terik pun kini mulai tertutup awan, seolah langit ingin menggambarkan isi hati dari mereka yang ditinggalkan. Hening, tak ada satu pun dari mereka yang bersuara. Bahkan sejak kedatangan mereka satu jam yang lalu.
Sampai akhirnya Brian menghela nafas panjang, mengusap wajah nya lalu menatap satu persatu sahabatnya.
"Gue pernah dengar ada yang bilang kalau kehadiran seseorang dalam hidup kita itu semata-mata bukan tanpa tujuan, tapi mereka punya tugas tersendiri untuk menuliskan cerita dalam hidup kita. Dan saat mereka pergi itu berarti tugasnya sudah selesai"
Aji tersenyum, rasanya sampai kapan pun ia tidak bisa bersahabat dengan kehilangan.
"Jangan pernah ada lagi diantara kalian yang tinggalin gue"
Ucapnya sambil menunduk. Meski ada sedikit rasa malu tapi Aji mengatakan itu dengan tulus.
Hujan kemudian turun, keempat sahabat itu masih berdiri disana sampai sepuluh menit sebelum akhirnya mereka pergi.
"Kami pamit"
|||
"Gue baru inget sesuatu"
Aji, Kinan dan Dero menoleh ke arah Brian. Menunggu Brian melanjutkan ucapannya.
"Bokap gue bilang kamera itu harus cepet-cepet di buang"
"Kamera? Kamera yang mana?"
"Kamera polaroid jadul itu loh, Nan"
Dero yang sedang mengeringkan rambut berpindah duduk mendekati Kinan.
"Emang lo bawa? Kok bisa?"
"Gue gak bawa kamera itu, tapi bokap bilang kamera nya ditemuin di ransel waktu proses pencarian"
"Terus sekarang kamera nya kemana?"
Tanya Aji dengan kening mengkerut.
"Gak tau, sejak pulang ke rumah gue gak liat kamera itu lagi"
"Bokap juga sempet kaget gitu pas liat lembaran kertas pencarian orang hilang"
"Hah? Bentar....maksud lo, kertas itu juga lo...bawa?"
"Gue gak bawa kertas itu Kinan, gue nemuin kertas nya ada di kantong celana gue"
"Terus nyokap bilang kalo malam itu bokap pulang dengan muka panik dan besok nya langsung pergi nemuin om Tian"
"Ji, lo gak bisa ngeliat atau ngerasain sesuatu soal ini?"
Dero bertanya, yang membuat Kinan dan Brian itu menunggu tanggapan Aji.
"Sejujurnya sejak gue siuman gue gak ingat apa-apa, ingatan gue cuma sampai pas kita terakhir ke bandara"
"Udah coba nyari di internet?"
Kinan bertanya sambil mengeluarkan ponsel nya. Setelah itu ketiga sahabatnya pun ikut mengeluarkan ponsel dan sibuk mengetik beberapa nama di halaman google. Tetapi nihil, tidak ada satu pun diantara mereka yang berhasil menemukan petunjuk.
Ruangan itu seketika hening. Baik Aji, Brian, Kinan maupun Dero sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Gue inget!"
"Apa?"
"Nenek gue pernah bilang sesuatu yang aneh waktu gue dirumah sakit"
"Aneh gimana?"
Kening Kinan mengkerut tampak mengingat-ingat perkataan nenek nya waktu itu.
"Tapi guys, menurut kalian cewek-cewek itu beneran ada gak?"
Seketika itu juga Brian, Kinan dan Dero langsung menatap Aji.
|||
"Tapi lo udah buang kan tuh kamera?"
"Belom, Van, gue juga bingung mau buang kemana"
"Anjing, Dit! Ngapain masih lo simpen? Udah mending lo bakar aja sekalian"
"Tapi anak lo...gak apa-apa kan?"
"Engga, Brian sih udah pulih sekarang"
Evan mengangguk sambil bernafas lega.
"Aji gimana?"
"Aji...gak pernah ngomong apa-apa sih, kayaknya dia gak inget"
"Bukannya anak lo indigo ya?"
"Iya sih, tapi bukannya justru lebih aneh kalo mereka inget hal-hal selama mereka koma?"
Aditya bergumam setuju.
Saat ini Evan dan Aditya sedang berada di cafe yang berjarak tak jauh dari kantor mereka, keduanya sengaja mengatur waktu untuk bertemu dan membahas ini.
Kemudian Aditya teringat tentang kematian Esa, anak dari sahabatnya yang kini sedang dalam jeruji besi.
"Tapi Esa kasian ya"
"Anaknya Sebastian?"
"Iya, si Esa.."
"Udah sempet siuman kan dia waktu itu?"
"Kalo kata ibu nya sih udah, tapi tiba-tiba aja gitu meninggal"
"Menurut lo tuh arwah si Esa beneran dibawa sama sosok-sosok aneh itu atau...."