Para gadis

8 1 1
                                        

Hampir tiga puluh menit Jihan duduk di halte menunggu hujan reda dan taksi yang mendadak sulit diberhentikan, entah karena beberapa jalan sudah tergenang banjir atau para pengemudi memilih beristirahat di rumahnya. Hari itu waktu masih pukul 2 siang, namun karena hujan suasana gelap membuatnya seperti sudah hampir senja.

Jihan memutuskan untuk menelpon anaknya, barangkali Renata bisa menjemputnya. Lalu sambil menunggu sambungan telepon fokus Jihan teralihkan pada seorang gadis kecil yang hendak menyebrang sambil bergandengan tangan dengan ayah nya. Ingatan Jihan pun terputar kembali pada kejadian 57 tahun silam.

Saat itu Jihan masih berusia 18 tahun, ia merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya sudah menikah enam bulan yang lalu pergi mengikuti suaminya meninggalkan desa, Jihan hidup layaknya remaja biasa. Karena keterbatasan biaya, setelah lulus SMA Jihan memilih membantu orangtua nya berjualan.

Suatu ketika Jihan diajak oleh pacar dan dua sahabatnya untuk pergi ke desa sebelah, mereka bilang akan ada pertunjukkan tari yang diadakan oleh orang-orang kota. Mereka sepakat untuk bertemu petang nanti di gapura dekat bukit.

Sore pun datang, Jihan yang sudah bersiap pergi kini memikirkan alasan apa agar ia di izinkan oleh orangtua nya.

"Rapih banget, mau kemana?"

"Hmmm...ini loh bu, Rara bilang ayah nya sakit jadi dia minta ditemani ke rumah nyai"

"Ayah nya sakit apa? Kok ayah gak tau"

Jihan menggigit bibir nya, bingung.

"Hmm itu, anu, katanya sih demam udah seminggu gak turun-turun, takut kena demam berdarah"

"Oh, iya sih memang Pak Bimo udah lama gak keliatan di kebun"

"Sama siapa kamu kesana nya, Han?"

"Sama mas Bayu, bu, nanti kami bertiga ke rumah nyai"

"Ya sudah hati-hati kalau gitu. Nanti kalau udah terlalu malam nginap aja dulu dirumah Rara"

"Baik bu"

....

Jihan, Rara, Asih dan Bayu telah sampai di desa Kalimo yang hanya berjarak 1 km dari desa mereka.

Langit sudah gelap saat mereka tiba, keempat remaja itu terus mengayuh sepeda untuk mencari aula besar tempat pertunjukkan tari yang dimaksud.

"Eh tunggu deh"

"Aduh apa sih, jangan berhenti mendadak gitu dong"

Rara dan juga Asih mengeluh pada Bayu, mereka lalu melihat ke arah jari Bayu.

"Lihat, itu disana!"

"Ayo kita lihat lebih dekat"

Mereka pun mengayuh sepeda semakin dekat pada sebuah keramaian di teras rumah. Sesampainya disana empat orang remaja itu hampir berteriak setelah melihat hal yang mengerikan.

Terdapat empat orang anak tampak sudah diikat, mulut dan mata mereka ditutup kain sambil dipegang kuat oleh masing-masing pria tua berpakaian serba hitam. Sementara itu suara teriak histeris seorang wanita dari dalam rumah menambah suasana semakin mencekam.

Apartment 341Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang