EMPAT

22 0 0
                                    

(1) Herman bangun lebih awal untuk berangkat ke sekolah. Beberapa hari yang lalu, dia mencoba menggali informasi dengan menanyai beberapa orang disana. Namun hasilnya nihil. Sudah empat hari semenjak dia berpura-pura menjadi Teguh. Jujur saja, dia masih belum terbiasa tinggal di pemukiman itu. Saat berangkat pagi itu, dia melihat Yuzu sedang berjualan. Tiba-tiba dagangannya jatuh. Herman pun menghampiri Yuzu dan membantunya.

"Teguh, apa yang kau lakukan? Bukankah kau harus segera berangkat ke sekolah. Kamu bisa terlambat jika membantuku."

"Tidak perlu khawatir. Aku sangat pintar," jawab Herman cuek.

"Bagaimana ini kita sudah terlambat jika berangkat ke sekolah sekarang?" Yuzu tampak khawatir karena membuat Herman telat.

"Kalau sudah terlambat apa boleh buat bukan. Ngomong-ngomong apa yang akan kau lakukan sekarang?"

"Maaf karena sudah membuatmu terlambat." Yuzu menundukkan kepalanya meminta maaf. "Mungkin aku akan membantu orangtuaku berjualan hari ini."

"Kalau begitu akan kubantu!" ucap Herman datar.

"Kenapa kamu repot-repot melakukan itu?" tanya Yuzu bingung.

"Aku tidak ingin bekerja di ladang gandum itu karena menyulitkan." Herman tidak ingin mengulangi pengalaman bekerja di ladang gandum itu lagi. "Dan aku tidak ada kegiatan lain sekarang ini, jadi membantumu bukan ide buruk."

"Dimana biasanya kau berjualan?" tanya Herman.

"Karena berjualan bakso, biasanya aku menghampiri sekolahan. Anak-anak kadang datang membeli."

"Sejujurnya tidak begitu buruk. Tapi itu pemasaran yang kurang tepat. Anak-anak biasanya tidak memiliki banyak uang, sehingga lebih baik berjualan di area perkantoran," ucap Herman menilai keadaan membuat Yuzu takjub.

Mereka tiba di sekitar area perkantoran. Tempat di mana orang-orang mencari makan, namun karena masih pukul 8 pagi. Tidak banyak yang membeli dagangan mereka.

"Perkantoran daerah ini tidak sesuai ekspektasiku. Tapi dengan begini, kita pasti bisa menemukan pelanggan," kata Herman dengan penuh percaya diri.

"Jadi daerah perkantoran yang kau tahu seperti apa?" Yuzu penasaran. "Apa kau pernah mengunjungi tempat itu?"

"Tidak ada orang-orang yang berjualan dengan gerobak seperti ini. Karena polusi mata, jadi dianggap mengganggu pemandangan. Jika kau ingin pergi makan siang, kau harus mengunjungi food court atau restoran terdekat. Dan harga makanan di sana tidak murah. Mungkin sekitar 40-120 per porsi."

Yuzu syok mendengar pernyataan terakhir itu. "40-120 Dulas per porsi?!"

"Benar, makan bakso 40 Dulas per porsi." Herman tertawa melihat ekspresi Yuzu, tapi semua yang dikatakan Herman itu sungguhan.

"Apa mangkoknya berukuran raksasa gitu?" tanya Yuzu heran.

"Tidak. Mangkok kecil biasa seperti yang kau jual."

"Wah, aku sungguh tidak bisa berkata-kata mendengar pernyataanmu itu." Yuzu merasa harga 40 Dulas per porsi itu sungguh luar biasa.

Saat jam makan siang, banyak karyawan mengunjungi mereka dan membeli bakso. Matahari bersinar terik, jam menunjukkan pukul 1:30. Akhirnya mereka kembali.

"Apa kita sebaiknya tetap di sana? Bukankah dagangannya laku?"

"Memang laris, tapi waktu makan siang sudah lewat, percuma juga jika tetap di sana."

"Teguh, makanlah ini." Yuzu memberikan semangkuk bakso untuk Herman. "Terima kasih sudah membantuku hari ini. Terima kasih juga sudah mengajariku banyak hal."

Herman tiba-tiba teringat bahwa Yuzu sangat pandai matematika di kelas. "Yuzu, apa kau bisa membuat laporan rugi-laba?"

"Eh? Aku belum mempelajari itu." Yuzu tampak bingung. "Apakah kau bisa Akuntansi?"

"Ya, kalau begitu aku akan mengajarimu sampai membuat laporan keuangan sederhana." Yuzu memberikan buku tulisnya dan mendengarkan penjelasan Herman. "Untuk usaha kecil, kau bisa menggunakan ini. Tentu saja, untuk usaha yang lebih besar kau perlu mempelajari lebih banyak seputar Akuntansi. Aku pun terkadang menyerah menyetarakan debit dan kredit pada neraca lajur."

"Kau hebat sekali. Aku tidak pernah tahu kau sepintar ini. Terima kasih ya Teguh!"

Herman tersadar bahwa dia sedang menjadi Teguh sekarang ini. Meskipun begitu, dia tidak memperdulikan hal itu. "Teguh, kau harus berterima kasih padaku. Karenaku, kau jadi dianggap sangat pintar," pikir Herman.

TUBUH YANG TERTUKAR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang