SEMBILAN

3 0 0
                                    

(1) Teguh duduk di sebuah kursi. Dia memperhatikan dengan baik neraca lajur dihadapannya. "Bagaimana caranya?" tanya dia kepada Pak Guru.

"Hahaha..." Guru itu tertawa santai. "Ada apa denganmu hari ini? Apa ada materi yang ingin kau pelajari?" tanya guru itu.

Teguh mengingat perkataan Ayah Herman di ruang makan tadi. "Apa kau paham maksud dari 'Laba produksi harus diinvestasikan kembali untuk meningkatkan produksi'?"

Guru itu tersenyum ramah kepada Teguh. "Apa Anda bukan penganut Kapitalisme?"

"Hah? Penganut Kapitalisme? Itu agama baru?" tanya Teguh bingung.

"Yah... Tidak salah jika dikatakan sebagai agama modern. Kapitalisme itu menjelaskan keseluruhan perputaran uang di dunia modern ini. Seperti menjelaskan bagaimana uang bekerja dan mendorong gagasan investasi agar laba hasil produksi dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang cepat."

Teguh masih tidak mengerti keseluruhan penjelasan guru itu. Namun, dia berusaha mengikuti pembicaraannya.  "Maksudnya bagaimana?"

"Hmm... Jika harus dijelaskan secara sederhana. Menurut Anda apa arti uang yang sesungguhnya? Jika saya menjual pulpen ini dan Anda membayarnya dengan cangkang kerang, apakah bisa disebut sebagai sebuah transaksi?"

"Tentu saja uang itu seperti koin, bukan? Saya ragu jika ada seseorang yang berjual-beli menggunakan kerang seperti yang Anda katakan."

Pria itu tersenyum. "Nilai uang yang sesungguhnya adalah kepercayaan. Uang bukanlah keping logam dan lembar kertas. Uang adalah apapun yang digunakan masyarakat untuk bertukar barang dan jasa dengan menggambarkan secara sistematis nilai benda-benda lain."

"Menggambarkan secara sistematis nilai benda-benda lain?" tanya Teguh.

"Benar! Untuk memahami keterbatasan barter. Anggaplah Anda memiliki kebun jeruk dan menghasilkan jeruk-jeruk manis. Namun suatu waktu, Anda ingin membeli gerobak untuk musim panen berikutnya. Lalu, Anda mendengar dari tetangga bahwa pembuat gerobak terbaik ada di ujung pasar. Mendengar itu, Anda bergegas kesana dan menawarinya jeruk-jeruk Anda untuk memperoleh gerobak baru."

"Lalu, apa yang terjadi?" tanya Teguh penasaran.

"Si pembuat gerobak ragu-ragu. Dia memikirkan berapa banyak jeruk yang harus diminta sebagai balas jasanya? Tiba-tiba ada pelanggan lain yang membawa karung-karung beras meminta tukang itu melakukan transaksi dengannya. Namun dia berpikir bahwa persediaan berasnya sudah cukup untuk tiga bulan kedepan." Guru itu menarik napas dan melanjutkan ucapannya. "Dalam ekonomi barter, setiap hari semua orang harus mempelajari ulang harga-harga pertukaran. Bagaimana jika di pasar itu ada lebih dari sepuluh ribu pertukaran barang-jasa, bukankah terlalu sulit untuk memikirkan semua itu?"

Teguh berpikir sejenak dan berkata, "Tentu saja sangat sulit memikirkan semua transaksi yang terjadi di pasar itu."

"Kau benar! Oleh karena itu beberapa orang mencoba menyelesaikan permasalahan itu dengan berbagai percobaan, seperti membuat barter sentral atau menggunakan cangkang bilalu. Hingga akhirnya uang logam hadir dan disenangi, juga diterima dengan baik semua masyarakat."

"Tapi bagaimana uang bekerja? Bagaimana bisa dia menyatukan masyarakat?" tanya Teguh.

"Seperti yang kukatakan. Nilai uang yang sesungguhnya adalah kepercayaan. Uang adalah sistem kesaling-percayaan paling universal dan efisien yang pernah diciptakan. Bahkan kau bisa bilang bahwa uang adalah penemuan paling hebat dari sejarah manusia!" Guru itu menggambar uang logam bergambar seorang raja. "Jika kau membeli croissant seharga 20 Dulas per buah dan memberikan uang itu kepada penjual. Ini karena kau dan penjual itu sama-sama percaya bahwa uang 20 Dulas itu setara dengan satu buah croissant. Ini yang dinamakan uang mempersatukan kepercayaan!"

Teguh pun paham maksud guru itu. Dia pun terheran-heran kenapa informasi sepenting ini baru dia ketahui sekarang. Rasanya seperti mendengarkan fakta yang seharusnya kau ketahui, namun tidak kau ketahui!

(1) "Kau bukan Herman ya?" tanya guru itu santai.

"Ehh... Ughhh... Itu... Ti-tidak Be-Be-Benar!" jawab Teguh terbata-bata.

"Hahaha! Tidak masalah untukku jika kau bukan Herman. Apa ada yang ingin kamu ketahui?"

"Kau masih tampak muda," ucap Teguh.

"Sebenarnya aku mahasiswa jurusan Ekonomi. Aku semester 7 tahun ini, dan mendapat perhatian dari keluarga Victrop untuk mengajari Herman seputar Ekonomi."

"Wah, terdengar keren ya! Kamu belajar apa saja di jurusan ekonomi itu?" tanya Teguh penasaran. Jujur saja, mendengarkan penjelasan sekilas seputar uang tadi membuatnya sedikit tertarik mempelajari ekonomi lebih lanjut.

(2) "Ya seperti.. Supply and demand mekanisme pasar, penetapan harga, etika bisnis, hal-hal yang dilarang ekonomi, dan sebagainya."

(1) "Wah terdengar keren." jawab Teguh antusias.

"Oh iya, ada satu hal menarik lagi yang ingin kusampaikan sebelum kelas berakhir." Guru itu mengeluarkan sebuah koin dan memperlihatkannya kepada Teguh. "Kau tahu kenapa wajah para penguasa dipasang pada uang?"

"Oiya jika ku pikirkan kembali, pada uang 100 Dulas juga ada wajah sang raja. Mengapa demikian?" tanya Teguh.

"Asal mulanya, uang diciptakan untuk mengatur ekonomi rakyat kekuasaan sang raja. Jika seseorang berani memalsukan uang, itu berarti dia menentang sang raja. Berarti dia mencemari nama sang raja dan harus dihukum dengan berat!" Guru itu tersenyum dan membereskan barang-barangnya. "Jadi begitulah kelas kita hari ini! Sampai berjumpa di lain kesempatan. Kalau-kalau kau tidak ketahuan tuan Victrop ya! Hahaha..."

"Terima kasih karena sudah mengajariku banyak pengetahuan baru hari ini," jawab Teguh tersenyum.

Teguh kembali ke kamar dan merebahkan dirinya di kasur. Dia awalnya mengira atap-atap itu adalah langit, ternyata gambar yang diproyeksikan dengan hebat. Karena terlalu lelah dengan kejadian yang dialaminya hari ini, dia pun tertidur sambil berharap segera kembali ke tubuh aslinya. Di dalam mimpinya dia mendapati ruangan putih, akhirnya dia duduk termenung hingga seseorang datang dan memukulinya.

"Luar biasa sekali kau! Berani sekali merebut hidupku yang indah dan damai. Kau pikir dirimu layak mendapatkan perlakuan seperti itu? Dasar tidak tahu diri. Mungkin karena kau tidak punya cermin yang lebar di rumah kumuhmu sehingga kau tidak berkaca dengan benar," ucap Herman.

Tiba-tiba dia terbangun oleh sinar matahari lembut yang menyilaukan mata. Seorang pelayan datang dan berkata, "Selamat pagi Tuan Herman, hari ini mari bersiap. Anda berjanji akan menonton acara Tuan Axel bukan?" ucap pelayan itu tersenyum.

TUBUH YANG TERTUKAR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang