TIGA BELAS

0 0 0
                                    

(2) "Kak, apa tidak masalah membantu rakyat jelata itu? Bagaimana jika banyak orang yang mengikuti jejak mereka?" tanya Syura khawatir.

"Tidak masalah menolong orang yang kesulitan," jawab Dimaz santai. Dimaz tampak tidak terlalu memperdulikan hal itu. Dia membantu mereka karena merasa itu tindakan yang benar.

"Kakak terlalu baik. Apa kakak tidak merasa aneh dengan rakyat jelata itu? Dia terlihat sangat percaya diri dengan permintaannya seolah tahu bahwa kakak pasti membantunya."

"Yah... memang benar terlihat sedikit aneh dengan kepercayaan diri yang berlebih itu, tapi tidak buruk juga. Sejujurnya aku pun memanfaatkan mereka. Apa kau tahu bahwa aku sedang bertaruh pada mereka? Jika mereka benar-benar bisa belajar dan mengembangkan diri di GordonStone, lalu membantu daerah kumuh itu sesuai yang dijanjikan. Ini tidak terlalu buruk bukan?"

"Aku ragu mereka akan menepati janjinya." Syura masih khawatir dengan tindakan Dimaz yang dengan sukarela menolong mereka. "Kakak bahkan tidak menanyakan rencana mereka."

Dimaz tersenyum mendengar jawaban Syura. Dia berkata, "Mengapa kau takut bahwa tindakanku sia-sia? Menurutku, tidak ada yang salah dengan memberikan bantuan kepada mereka. Gagasanku membantu mereka memang terkesan terburu-buru. Namun, gagasan mengenai kemajuan dibangun di atas pemikiran bahwa bila kita mengetahui ketidaktahuan kita dan menginvestasikan sumber daya, maka perbaikan bisa terjadi."

"Bagaimana jika kita bertaruh? Jika mereka berhasil membuat sedikit perbaikan di pemukiman kumuh itu tahun ini, maka aku akan mengabulkan permintaan kakak."

"Baiklah, mari bertaruh denganku," jawab Dimaz.

(3) Pelayan mengantarkan Herman dan Ayah Teguh ke pelabuhan dan memberikan dua tiket kepada mereka untuk bisa menaiki kapal. Kapal akan berangkat setengah jam lagi menuju GordonStone. Pelayan memberikan informasi bahwa untuk ke GordonStone membutuhkan waktu satu minggu. Ayah Teguh dan Herman pun berpamitan dan berterima kasih kepada pelayan yang sudah membantu.

(1) Selama di kapal, tidak banyak hal yang bisa dilakukan Herman. Dia menghabiskan banyak waktunya dengan membaca buku, mencoba memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Dia mencoba memancing dan berbincang dengan orang asing untuk mendengarkan beberapa cerita yang menarik.

"Herman! Kita hampir tiba," ucap Ayah Teguh sambil menunjuk ke arah sebuah pulau.

"GordonStone! Aku pulang," ucap Herman senang.

Mereka menaiki taksi menuju ke kediaman Victrop. Herman menghabiskan seluruh uang yang didapatkannya di turnamen. Herman sangat pandai mengumpulkan uang, dia mendapatkan tambahan uang melalui pertunjukkan piano di atas kapal.

"Waktunya harus disesuaikan dengan jam pulang sekolah Axel atau Hazel. Saat itu tiba, kita harus bergerak cepat!"

Setelah menunggu beberapa jam, mereka mengamati Hazel pulang. Dengan segera Herman mendatanginya.

"Hazel. Bantu aku," kata Herman mencoba meyakinkan gadis di hadapannya.

"Oh, sepertinya kau berhasil pulang ya." Hazel masih tampak ragu dengan penampilan Herman yang sepenuhnya asing. Namun, gadis itu sangat pintar untuk mengenali kakaknya.

Beberapa minggu lalu, Hera mengungkap identitas Teguh yang asli. Sontak hal itu membuat panik Axel dan Hazel. Ayah Herman menyewa beberapa orang untuk melakukan pencarian. Tentu saja, mereka merahasiakan identitas Teguh yang sebenarnya dari publik.

"Mari masuk. Buktikan padaku jika kau memang yang asli," kata Hazel tersenyum.

Mereka dibawa menemui Ayah Herman. Hazel memanggil Teguh dan Axel menuju ruang pertemuan. Akhirnya mereka duduk mengitari meja bundar besar dan memulai perbincangan.

"Teguh, anakku..." ucap Ayah Teguh semangat.

"Ayah!" Teguh berlari memeluk ayahnya. Adegan itu mendapat perhatian aneh untuk keluarga Victrop.

"Ehem... Jadi kau tidak mau memelukku seperti itu?" tanya Ayah Herman kepada Herman.

"Jangan bercanda! Kenapa aku harus melakukan tindakan konyol seperti itu?" jawab Herman ketus.

"Satu poin diperoleh, ciri kak Herman yang pertama, tidak suka drama," bisik Axel kepada Hazel.

"Aku setuju. Ini baru permulaan," bisik Hazel.

(1) Herman, pria yang sederhana dan fokus pada hal-hal praktis, menyadari bahwa situasi ini memerlukan bukti yang kuat.

Saat duduk di ruang pertemuan bersama keluarga Victrop, dia menghadapi momen kritis untuk membuktikan identitasnya yang sesungguhnya. Dengan bijaksana, Herman berkata, "Ayah, Hazel, Axel, aku paham keraguan yang ada. Namun, aku memiliki bukti yang bisa menunjukkan siapa diriku yang sebenarnya."

Herman membuka buku miliknya. Di dalamnya, terdapat catatan keluarga Victrop yang hanya diketahui oleh mereka sekeluarga. Herman menceritakan momen-momen pribadi yang hanya bisa diketahui oleh anggota keluarga sejati, termasuk kejadian-kejadian masa kecil yang tidak mungkin diketahui oleh siapapun selain mereka.

"Dia benar," kata Ayah Herman, mengingat kembali momen-momen yang Herman ceritakan. "Ini tidak mungkin diketahui oleh orang lain. Hanya anggota keluarga yang sebenarnya yang bisa memiliki pengetahuan tentang hal ini."

Hazel dan Axel saling pandang, terkejut dengan detail-detail yang Herman ungkapkan. Mereka menyadari bahwa Herman memang memiliki akses ke informasi yang sangat terbatas, informasi yang hanya dimiliki oleh anggota keluarga sejati.

"Kakak, maafkan keraguan kami," ucap Hazel sambil tersenyum. "Kau memang Herman Victrop."

Dengan rasa lega, Herman melihat keluarga Victrop menerima identitasnya yang sesungguhnya. Mereka mengakhiri pertemuan dengan rasa kelegaan, menemukan kembali Herman yang hilang.

TUBUH YANG TERTUKAR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang