Semenjak kanak-kanak Fara akhirnya mengenal apa itu kerasnya hidup, ia akhirnya tahu bagaimana tulinya semesta atas apa yang terjadi padanya, ia akhirnya tahu bahwa adegan-adegan di film yang ditontonnya itu nyata, ia akhirnya merasakan apa itu trauma.
Ketika isak tangisnya mengudara orang-orang seakan tuli. Ketika kakinya lebam orang-orang seakan buta. Ketika matanya sembab orang-orang seakan tidak peduli, atau memang benar mereka tidak mau peduli.
Bisa saja mereka tahu tapi mereka memilih untuk memalingkan muka, dan sebenarnya itu memang sudah asli dari sifat manusia kebanyakan.
Hari itu tanah lembab karena tersiram hujan kemarin sore, bulan Desember dengan awan gelap sudah menjadi tontonan yang biasa, tapi pagi itu cahaya matahari terik bersinar bersama langit biru dan awan putih yang sedap di pandang. 15 Desember 2021 ingatan itu seakan tidak mau lepas dari otak Fara hingga masa kini. Di mana di hari ulang tahunnya yang ke lima belas itu dia menjadi benci dan takut pada hari kelahirannya. Jika biasanya dia begitu antusias dengan ulang tahunnya maka di tahun itu Fara benar-benar ingin melupakan hari penting itu, atau langsung saja meloncat ke tanggal enam belas, ia ingin tidak ada seorang pun yang mengingat hari itu, ia ingin tidak ada seorang pun mengucapkan selamat bertambah umur padanya.
Tapi hari itu justru ayahnya orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya sebelum beliau pergi untuk berangkat kerja. Dan tentu saja Fara tetap tersenyum senang meskipun dalam hati sukar sekali.
Hari itu, Fara hampir mati.
Di hari itu melayang bayang-bayang pertanyaan dalam benaknya, apakah dia benar-benar akan mati?.
Namun saat tangan ibunya akhirnya melepaskan lehernya dan Fara akhirnya bisa menghirup oksigen sebanyak-banyaknya ternyata dia masih hidup. Dengan batuk-batuk Fara bangkit terduduk dengan kesibukannya yang mengisi rongga paru-parunya dengan oksigen.
Dia memang selalu mencari gara-gara sehingga ibunya marah besar. Masalahnya adalah kemarin malam saat hujan turun seperti biasa Fara akan pergi ke rumah teman SMPnya—Senja, yang berbeda gang untuk sekedar mengerjakan tugas sekalian bermain. Tapi malam itu bukannya ke sana Fara malah belok ke rumah temannya yang lain, yang notabenenya sangat tidak disukai ibunya. Dari awal Fara sudah diwanti-wanti oleh ibunya agar tidak bermain dengan anak itu lagi, karena sudah beredar berita bahwa dia anak yang nakal dan suka membantah orang tua. Maka dari itu para orang tua di lingkungan itu sering kali melarang anak mereka bergaul dengan anak itu.
Tapi bagi Fara dia teman yang baik, terlepas dari kebiasaannya yang sering membantah orang tuanya dia adalah teman yang pengertian semenjak mereka sekolah dasar, sejak Fara baru pindah ke sini. Orang-orang tidak mengerti bagaimana pandangan Fara pada temannya itu, orang-orang tidak tahu baiknya temannya pada dirinya selama ini. Dan hanya karena kekurangannya itu maka semua orang berbondong-bondong menjauhinya.
Malam itu Fara duduk berdua dengan temannya itu membicarakan banyak hal dan karena lengah Fara jadi tidak seberapa waspada pada sekitarnya. Mungkin dua puluh menit kemudian ibunya lewat di depan rumah teman Fara dan keadaannya mereka berdua duduk di teras depan, jadi tertangkap sudah dirinya oleh ibunya. Dengan begitu saja Fara dibuat sakit kepala memikirkan apa yang harus dikatakannya nanti? Apa yang akan terjadi nanti? Apa yang harus lakukan sekarang?. Perlahan Fara mengikuti langkah ibunya yang menyuruhnya pulang ke rumah, masih dengan hati yang gelisah Fara tidak habis-habisnya berhenti berpikir akan semarah apa ibunya nanti.
Sampai rumah benar saja, ibu Fara langsung marah besar dengan suaranya yang membentak-bentak dia juga membuang pakaian di lemarinya ke lantai menyuruhnya pergi dari rumah. Kepala Fara makin dibuat pusing saat rambutnya ditarik kasar ke sana kemari. Tubuhnya berdebam dengan lantai, dipan kasur, kaki meja, dan itu membuatnya nyeri. Tapi saat itu yang dirasakannya hanya sakit hatinya. Sakit pada tubuhnya seolah tidak terasa. Seperti yang kemarin-kemarin terjadi, usai membersihkan dirinya barulah rasa nyeri dan perih itu terasa.
Tapi, ini semua memang salahnya.
Malam itu berakhir dengan isak tangis tertahan dirinya dengan tubuh tertatih membersihkan kamarnya yang berantakan. Fara tidak tahu pukul berapa hingga akhirnya dia tertidur setelah lelah menangis, yang pasti paginya Fara berusaha keras menghilangkan sembab pada kantung matanya dan menutup semua lebam yang sekiranya akan terlihat kalau-kalau tidak ditutupi. Namun siapa sangka kalau itu bukan akhir dari segalanya. Setelah menerima ucapan selamat dari ayahnya sebelum beliau pergi bekerja jujur saja perasaan Fara agak membaik meskipun sebenarnya dia tidak ingin mendengar kalimat tersebut dari siapa pun. Tapi lagi-lagi karena kesalahannya ibu kembali marah.
Hingga Fara merasa kalau dia nyaris mati hari itu.
Dan sejak saat itu hingga kini Fara selalu takut untuk pulang. Rumah yang seharusnya sebagai tempat istirahat nyatanya membuat Fara memiliki kecemasan yang berlebihan sehingga membuat dirinya tidak nyaman berada di rumah. Tidak heran jika kebiasaannya yang memakai alasan kerja kelompok hanya untuk pergi main ke rumah temannya, hanya untuk menghindari omelan dari ibunya.
Sudah sedari lama Fara kena pukul, kena cubit, kena benturan yang sampai saat ini ia simpan rapat-rapat dalam dirinya. Sedikitpun tidak ada yang pernah dia katakan soal ini pada siapapun. Karena Fara malu mengatakannya. Dia tidak suka karena setiap kali kejadian itu berkelebat dalam ingatan otaknya akan menganggap dirinya semacam hewan.
Hewan yang suka mencari masalah, dan harus diberi pelajaran.
Dari lama Fara mendapat perlakuan semacam itu ketika membuat salah, dan baru berhenti ketika dirinya menginjak bangku SMA. Meskipun begitu tetap ada sekali dua kali saat dia tidak mendengarkan ibunya maka ditempeleng sudah kepalanya, atau telinganya itu dijewer hingga meninggalkan bekas goresan berdarah yang perih ketika terkena air. Tapi itu bukan salah ibunya. Itu memang harus dilakukan untuk mendidik seorang anak yang ndableknya minta ampun macam dirinya.
Tanpa Fara sadari trauma itu mengikuti langkahnya hingga kini, rasanya berkali-kali Fara ingin membenturkan kepalanya sekeras mungkin agar dia amnesia dan melupakan segalanya saat bayang-bayang tersebut berkelebatan di otaknya.
Hidup dengan trauma yang terus membebani kaki. Tidak pernah terbayangkan bahwa dia akan hidup seperti itu.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Euploea Midamus
Teen FictionSebuah buku yang diciptakan oleh Fara hanya untuk mengenang semua warna yang ada di hidupnya. Pertemanan, cinta, keluarga, dan diri sendiri. Sebuah buku yang baginya penuh luka tapi ternyata karena buku itu semuanya jadi terasa lebih ringan untuk Fa...