Hari ini mendung kembali menggelayuti langit Bogor dari pagi sampai siang. Bulan Maret yang sangat akrab akan hujan, membuat kota Bogor lagi-lagi dikukung langit temaram dan udara dingin. Namun hal tersebut tidak dapat membuat sorak sorai menggelegar di pinggir lapangan menjadi surut, malah semakin keras dengan embel-embel apapun yang keluar dari mulut. Pertandingan basket ala-ala anak kelas dua belas disoroti dengan antusias oleh seantero sekolah. Katanya sebelum pusing mikirin ujian, di puas-puasin dulu main basket sambil mengumbar pesona dihadapan adik tingkat.
Meskipun Fara suka basket daripada futsal tidak ada keinginan sedikit pun untuk menonton pertandingan siang itu. Padahal di sana ada mantan crushnya dulu. Fara justru menatap keramaian itu dari lantai dua depan ruang musik. Tak lama setelahnya gerimis mulai turun tipis-tipis membuat banyak kepala yang ada di lapangan itu menengadah menatap langit, namun untuk setelahnya justru semakin marak dengan keributannya menyoraki anak laki-laki kelas dua belas dan menghiraukan gerimis yang masih turun dan bisa saja beberapa waktu kedepan membuat seragam mereka basah. Tapi mereka tidak peduli, pertandingan saat ini semakin seru dengan skor masing-masing 24-22. Dua puluh empat untuk anak Ipa dan dua puluh dua untuk anak Ips.
Lalu saat gerimis yang semula tipis dan tak berbobot itu berubah menjadi sebesar biji jagung Fara menatapnya dengan iringan suara sorak sorai di bawah. Suasana yang kontras dengan kondisi dirinya saat ini. Dalam sendu yang ramai itu Fara menerawang menatap pepohonan dan bangunan tinggi yang jauh dengan sepasang mata yang tiba-tiba terasa mengantuk. Fara kemudian menyangga kepalanya dengan kedua tangan, meski ia harus menjijit sedikit karena pagar pembatas yang lumayan tinggi. Dan kicauan dalam kepalanya itu kembali, seperti hari-hari sebelumnya, masih ramai, menjengkelkan, dan tidak bisa diusir. Bahkan ia bingung harus menanggapi bagaimana masalah akhir-akhir ini yang datang menghampiri. Yang Fara lakukan adalah diam mendengar keributan itu dengan sabar, dan berusaha mencari solusi yang tepat.
Hingga tangan besar yang mengusap kepalanya lembut membuatnya sedikit tersentak dan menoleh ke arah Gala yang tersenyum padanya. Lalu muncul satu sudut pandang itu lagi.
Dia Gala.
Yang selalu menemukannya kembali.
Di antara luasnya dunia.
"Ngapain sendirian di sini?".
"Ngelamun lagi". Tambah Gala lalu bergabung di sebelah Fara dengan menumpukan kedua tangannya di atas pembatas.
"Kayaknya aku ketularan mbak Titin deh". Sesaat setelah mengatakan itu Fara tergelak, ingatan saat Titin yang disemprot oleh Raga membayangi.
"Titin siapa?".
"Itu loh temen kerja di Kafe".
"Yang kata kamu sering banget ngelamun?".
"Iya".
"Pantes".
Fara tergelak keras, seakan beban dalam kepalanya menghilang begitu saja. Namun dia selalu tak suka adegan setelahnya. Di mana ia menarik nafas panjang sambil mencoba untuk menekan rasa sesak di dadanya yang semakin nyeri saat ia tertawa.
"Kenapa?". Pertanyaan Gala membuat Fara menoleh dengan kening berkerut.
"Kenapa apanya?".
"Kamu kayak lagi ada masalah". Fara tersenyum tipis lalu kembali menatap langit yang menurunkan gerimis.
"Nggak ada apa-apa". Jawabnya setelah hening beberapa waktu. Sedangkan Gala dari samping tetap menatap Fara, mungkin laki-laki itu tahu ada beberapa hal yang kini menjadi beban pikiran Fara.
"Nanti pulang sekolah mau ikut aku dulu nggak?".
"Ke mana?".
"Rahasia". Gala memasang wajah misterius dibuat-buat, di depannya Fara semakin menautkan kedua alisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Euploea Midamus
Novela JuvenilSebuah buku yang diciptakan oleh Fara hanya untuk mengenang semua warna yang ada di hidupnya. Pertemanan, cinta, keluarga, dan diri sendiri. Sebuah buku yang baginya penuh luka tapi ternyata karena buku itu semuanya jadi terasa lebih ringan untuk Fa...