Orientasi X-MIPA II

53 7 4
                                    

     Bogor, 28 Agustus 2022

Kemarau tahun lalu, tahun terakhir Fara di sekolah menengah pertama. Berhari-hari dia bingung akan melanjutkan sekolah dimana, sedangkan kebanyakan temannya sudah menetapkan pilihannya masing-masing. Sedangkan Fara masih bingung harus sekolah disini, atau kota neneknya.

"Masuk tsanawiyah ngak mau, SMA Tirta ngak mau, yang deket rumahnya tantemu juga ngak mau terus mau sekolah dimana?".

Fara hanya diam sambil terus menelan isi piringnya tanpa mengalihkan tatap dari televisi yang menampilkan iklan sabun nuvo itu.

"Temen-temen Fara dimana toh?". Suara ayahnya terdengar menengahi diantara pembicaraan Fara dan ibunya.

"Temen e kabeh iku di SMA Negeri Tirta pembayaran daftarnya sekitar tiga empat  juta belom bayar seragam, bukunya, spp bulanan, ayah sanggup bayar itu semua?".

Ibu menjawab dengan rinci setelah mengetahui asal usul uang yang dikeluarkan untuk sekolah di sana dengan rinci. "Kalo ibu sih luwih seneng SMA Tirta iki yah, deket rumah ngak jauh-jauh, tapi ya itu tadi pembayarannya besar".

Fara diam melirik ayahnya yang tak kunjung membuka suara. Menghela nafas rendah kemudian dengan cepat menyelesaikan makanan dipiringnya dan segera meluncur ke dapur tanpa ingin terlibat pembicaraan ini lebih lanjut.

Sambil mencuci piring pikiran Fara jauh melesat dari piring-piring kotor yang ada dihadapannya. Fara ingin, tapi Fara tahu sepertinya tidak mungkin, tidak mungkin dia minta sekolah di kota neneknya yang pasti akan lebih memakan biaya banyak, apalagi dengan kondisi ekonomi seperti ini tidak mungkin Fara akan pindah ke kota neneknya, ibu dari ayah Fara.

Kota nenek Fara ada di Semarang, alasan kenapa Fara ingin pindah ke sana, karena Bogor adalah kota penuh luka untuknya. Luka yang selalu menakuti kemanapun Fara pergi. Fara tidak suka dengan Bogor. Cuacanya yang dingin itu sering membuatnya pilek di pagi hari. Setiap hujan turun selalu menambah kesan muram untuk menjalani hari. Belum lagi setiap harinya selalu di isi oleh kecemasan yang selalu terjadi. Fara hanya ingin lari.

Lari dari keadaan ini. Lari dari hidupnya.

Malam harinya keputusan untuk pindah ke kota neneknya yang sebelumnya sudah bulat bundar perlahan runtuh. Melihat ayahnya yang dari tadi menghirup nikotin lebih sering dari pada biasanya membuat Fara merubah keputusannya. Fara sudah cukup banyak melakukan kesalahan, sudah terlalu banyak berbohong, sudah terlalu banyak merepotkan, dan Fara masih terlalu susah untuk berubah.

Setidaknya Fara tidak mau menambah beban yang ditanggung ayahnya yang harus banting tulang untuk menghidupi keluarga mereka.

Maka dengan begitu saja dia mengambil pilihan sekolah di SMA Nusa Bangsa yang jauh dari rumah tetapi di sekolah itu ada keringanan untuk pembayaran spp bulanan dan itu cukup menjadi alasan Fara untuk masuk ke sekolah itu. Tidak ada satu teman pun yang melanjutkan sekolah disana dan mungkin ini akan jadi lembaran hidup baru, episode baru dalam buku kehidupan Farasha Maharani.

Sekolah jauh dari rumah, tanpa teman, kemampuan sosialisasi yang minim, Fara pikir dia akan menjadi murid kesepian yang susah bersosialisasi dengan orang baru tapi ternyata Fara malah menemukan dua makhluk aneh yang bisa menjadi teman dekatnya selama 3 tahun sekolah di SMA Nusa Bangsa. Sebuah pertemanan yang berbeda dari masa SMP.

Teman satu kelasnya juga baik, semuanya tidak pernah pilih-pilih meskipun akan ada satu dua anak yang agak julid padanya tapi Fara tidak terlalu mempermasalahkannya, karena itu wajar. Dia tidak berharap semua teman bisa menganggapnya 'penting' atau bahkan menjadi pusat perhatian, itu terlalu norak dan terlalu tinggi untuk Fara yang tidak mempunyai apapun untuk dijadikan pusat perhatian.

Euploea MidamusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang