Menjelang pukul dua siang gerimis membungkus wilayah Bogor Barat, membuat tanahnya kembali basah. Berikut juga dedaunan yang terkantuk-kantuk menahan air yang menjatuhinya. Di balik kaca transparan Kafe tempatnya bekerja Fara menatap dengan tak selera air yang jatuh di luar kini semakin deras. Selang beberapa detik kemudian ia dikejutkan oleh seseorang yang mengulurkan buku di atas meja. Mata Fara mengerjap mengamati novel Tulisan Sastra yang sudah di hadapannya untuk kemudian mengangkat tatap melihat orang yang berdiri di sampingnya berjarak dua langkah.
"Ini yang gua janjiin sama lu". Ucap Raga sambil mengantongi tangannya ke saku celana. Fara tersenyum tipis memegang sampul novel favoritnya.
"Makasih ya, kalo udah selesai nanti gue balikin". Raga mengangguk sebagai jawaban.
"Yang buku kedua gua baru baca seperempat, mungkin kelarnya agak lama".
"Emang lo punya berapa buku series Sastra ini?".
"Cuma dua, buku pertama sama kedua".
Raga kemudian menarik kursi yang ada di sana lalu mendudukkan diri dengan memandang ke luar. Melihat itu Fara membereskan gelas-gelas yang masih berserakan di atas meja sambil melontarkan pertanyaan pada Raga.
"Kalo boleh tahu kok lo bisa baca buku ini?". Raga menatap Fara sekilas lalu beralih pada novel yang tergeletak di atas meja.
"Adek gua yang kasih rekomendasi". Jawabnya singkat.
"Oh jadi lo punya adik?".
Yang dijawab anggukan singkat oleh Raga.
"Cewek apa cowok?".
"Cewek".
"Wah kayaknya harus kenalan sih". Fara berucap semangat dengan senyum lebar, tapi di depannya Raga justru mengangkat sebelah alisnya.
"Buat apaan?".
"Kan kita sama-sama penggemar Sastra univers".
"Emang harus banget cuma gara-gara itu harus kenal?".
Fara diam sejenak, berpikir sambil melemparkan pandangannya ke luar.
"Iyalah, jadi kita bisa sharing-sharing banyak hal dan sasarannya bakalan pas karena ngobrolnya juga sama orang yang tepat". Jawabnya setelah menemukan alasan pendukung argumen yang diutarakan.
Sementara Raga di tempatnya menatap Fara yang kembali cekatan memindahkan piring dan gelas kotor ke atas nampan setelah berdecak tak habis pikir dengan pendapat perempuan itu tentang sesama fans HARUS kenal, cuman buat ngobrol biar sasarannya pas. Kemudian dengan tanpa sadar Raga berkata.
"Kalo diliat-liat lu sebelas dua belas lah sama dia". Fara mengernyitkan dahi berhenti sejenak dari aktivitasnya dan turut membalas tatapan laki-laki yang duduk di sana.
"Siapa?".
"Adek gua".
"Kok bisa? Dari segi mananya?".
"Dari segi nggak jelasnya".
"Jadi maksud lo, gue nggak jelas gitu?". Fara meninggikan nada suaranya, membuat kentara bahwa dia tersinggung atas ucapan Raga barusan.
"Bukan gua yang ngomong, lu sendiri yang ngomong". Seolah pelototan mata Fara tidak ada apa-apanya Raga melengos menyapu pengunjung Kafe yang tersebar di beberapa meja.
"Secara nggak langsung lo yang bilang dengan menyangkut pautkan adek lo tadi".
"Dan lu yang memperjelas sendiri". Dengan santai Raga mengangkat telunjuknya ke Fara dengan tampang cool dibuat-buat.
Fara terperangah tidak habis pikir dengan sikap bosnya yang semakin kesini semakin kurang ajar, dan mencerminkan dirinya sebagai cowok ganteng dengan tingkahnya yang menyebalkan. Kemudian dengan decak keras dan boombastic sideeye yang dimilikinya Fara meninggalkan Raga dengan hati gondok bukan main. Baru satu langkah suara menyebalkan itu kembali menghentikan langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Euploea Midamus
Teen FictionSebuah buku yang diciptakan oleh Fara hanya untuk mengenang semua warna yang ada di hidupnya. Pertemanan, cinta, keluarga, dan diri sendiri. Sebuah buku yang baginya penuh luka tapi ternyata karena buku itu semuanya jadi terasa lebih ringan untuk Fa...