*sorry for typo
***
Jazziel Cairo Mahdhava mempesona dengan tubuh tinggi dan paras rupawan nya.
Anak sulung dari pasangan Adinata Mahdhava dan Ayyara Hazelia itu tengah mengeyam pendidikan di perguruan tinggi semester enam.
Perangai Ziel masih sama seperti saat kecil. Anak itu periang dan jahilnya tidak ketulungan. Sehari tidak adu mulut dengan kedua adiknya seolah bisa membuat Ziel mati penasaran.
Hobinya mengoleksi figure action dan bermain game. Selain untuk belajar-- memenuhi mandat dari sang kepala keluarga-- waktu Ziel juga dihabiskan untuk bermain game. Mungkin sedikit dibumbui dengan waktu kencan.
Laki-laki yang baru saja membersihkan diri itu langsung duduk di kursi kesayangannya, bukan untuk belajar, melainkan untuk bertarung dengan teman-temannya. Lumayan ada waktu dua puluh menit sebelum dia pergi untuk menepati janji pada kekasihnya.
Gerak tangannya secara otomatis terhenti saat melihat layar handphonenya yang menyala dan menampilkan notifikasi pesan.
'Ziel temenin aku ngemall yuk!'
Ziel melirik jam yang menggantung di dinding kamarnya. Dia bergegas berdiri menuju lemari dan mulai memilah pakaian. Disela kesibukannya itu, dia masih sempat mendial nomor yang sudah tersedia di log panggilan. Tanda bahwa nomor itu sering Ziel hubungi.
Ziel membawa benda pipih itu kedekat telinga dan ia jepit diantara bahu, tangannya sibuk mencocokkan pakaian pada badannya. Pada dering ketiga panggilan langsung terjawab.
Tanpa repot menyapa, Ziel langsung mengutarakan apa tujuannya menghubungi orang diseberang sana.
'Hal—'
"Jem, aku gak bisa jemput kamu. Dosen tiba-tiba ngirim tugas kelompok dan deadline-nya besok, jadi aku harus buru-buru kerjain. Maaf, ya."
Itu adalah bentuk kebohongan kesekian kali yang Ziel jadikan alasan kepada perempuan yang sudah menemani nya empat tahun terakhir ini.
Demi apa?
Demi teman masa kecilnya yang baru kembali.
'Gak papa kok, aku bisa pulang sendiri.'
Apa Ziel merasa bersalah? Tentu. Tapi ia merasa tindakan nya masih dalam batas wajar. Ziel berusaha tidak memusingkan hal itu.
"Nanti malem kita jalan-jalan. Maaf, Jem."
Maaf itu, entah maaf untuk kesalahan yang mana.
***
Zayyan Shakeel Mahdhava hidungnya tinggi mancung juga runcing, rahangnya begitu tegas kendati dia baru memasuki masa remaja.
Menjadi murid kelas dua belas SMA tak serta-merta membuat laki-laki yang kerap dipanggil Zay itu bersantai ria seperti teman-temannya. Diantara Mahdhava bersaudara, Zay ini yang paling mirip dengan sang Ayah.
Sayang sekali, doa Rachel tak terkabul. Karena Zayyan benar-benar mewarisi segala aspek Adinata. Tak banyak bicara namun banyak bertindak, gengsi nya setinggi menara Dubai, juga mulut pedas ala Nata yang dibumbui dengan celetukan rombeng nan comel seperti Juna dan Jerry.
Kombinasi yang lengkap.
Setelah puas menghabiskan waktu jamkos dengan konser kecil-kecilan dengan teman sekelasnya, bel pulang pun berbunyi. Zayyan yang memang sedari tadi sudah menunggu waktu pulang dan telah membereskan barang-barangnya lantas segera bangkit dan pergi. Langkahnya disusul oleh langkah kecil nan cepat milik seorang gadis yang menjadi teman sebangkunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
1000% GENGSI
ChickLit[TAMAT] Bersama Adinata, Ayyara menyadari satu hal. Bahwasannya, menjalani hubungan tanpa cinta bukanlah sebuah masalah besar. Saling percaya dan komunikasi menjadi pondasi utama meskipun dibumbui segudang gengsi. Karena itu pula, Ayyara tak pernah...