4. Garis Dua

80 3 0
                                    

Aku menunggu kepulangan Mas Irsan di dalam kamar, sudah 1 jam lamanya Mas Irsan belum kembali. Entah kemana perginya suamiku itu. Untung saja rasa mual yang aku rasa sudah mereda. Jika saja selalu mendera, badanku semakin lemas.

Di tengah-tengan lamunanku, aku langsung menoleh ke arah Indira yang menggeliat sambil menangis memanggil namaku.

"Mama! Mama!" teriaknya.

Segera kutarik badan kecil Indira ke dalam pelukanku dan mulutnya sudah mengulum put*ng payudaraku. Kupukul pelan bokongnya agar Indira kembali tidur.

Pasalnya Indira belum tidur, karena sudah ada ayahnya, jadi sulit di ajak tidur. Aku mengulas senyum melihat wajah cantik Indira yang tengah tidur di hadapanku.

Wajahnya sama persis saat masih kecil, keluargaku juga mengatakan itu.

"Cantiknya anak gadis Mama." Aku bergumam sembari melayangkan kecupan di keningnya.

Setelah Indira kembali lelap, aku mulai menarik put*ngku dari mulutnya. Mas Irsan masih belum juga pulang. Padahal jarak antara rumah dan apotik hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja.

Aku memutuskan untuk mengambil ponselku yang terletak di atas nakas, lalu mengirimkan pesan di aplikasi WA.

Rinjani: Mas, kamu mampir kemana dulu? Kok lama pulang.

Setelah mengirimkan itu, aku menunggu balasan darinya. Selang beberapa menit di tunggu, malah tidak ada balasan dari Mas Irsan.

Dengan kesal, aku melempar ponsel milikku ke ranjang. Di saat aku membutuhkan Mas Irsan, suamiku ini malah lama pulang.

Suara mobil berhenti membuatku mematung sejenak, untuk memastikan jika suara mobil itu adalah mobil suamiku. Ternyata benar, itu suara mobil yang terparkir di rumahnya.

Buru-buru aku turun dari ranjang, lalu berdiri ke arah jendela kamar. Untuk melihat lingkungan sekitar.

Mas Irsan keluar dari mobil miliknya, membuatku jadi benapas lega.

Pria itu membuka pintu kamar, netra matanya melohat ke arahku dengan wajah bersalah, karena aku melayangkan tatapan tajam padanya. Hormon ibu hamil mungkin ya, sehingga aku jadi sensitif begini.

Meski aku belum tahu pasti, jika diriku hamil atau tidak.

"Maaf Mas pulang lama, Yang," cicit Mas Irsan, tangannya meletakan parsel yang berisi buah-buahan.

Padahal aku tidak meminta. Ah, aku tahu. Itulah cara dia untuk merayuku agar aku tidak marah padanya.

"Habis dari mana? Ke apotik kok sampai 1 jam. Emang sejauh itu?" aku langsung mencercanya dengan pertanyaan. Kesal rasanya.

Aku membuang muka saat Mas Irsan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, pria itu berjalan ke arahku dan menuntunku untuk duduk di tepi ranjang.

"Tadi Mas ketemu Winar di depan, dia mau pulang kampung. Karena Mas kasihan. Mas kasih dia tumpangan, terus Mas anterin dia ke stasiun," papar Mas Irsan, menjelaskan tanpa di lebih-lebihkan.

Pantas saja kepulangan Mas Irsan begitu lama, jika tempat tujuan yang Mas Irsan tuju tidak hanya apotik saja. Apalagi perjalanan ke stasiun itu lumayan lama.

Rasa kesal pasti ada, tapi apalah daya, toh niat Mas Irsan baik. Membantu Winarni. Aku juga tidak mau cemburu. Mau bagaimana pun juga, Winarni sudah kami anggap seperti keluarga sendiri.

Tampaknya Mas Irsan sedang menunggu jawabanku, takut aku marah padanya mungkin.

"Oh yaudah, tapi Mas beli tespeknya, 'kan?" tanyaku.

Misteri Selingkuhan SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang