3. Gejala Kehamilan

115 4 2
                                    

Aku benar-benar merasa malu karena tidak menyadari jika tanda merah itu hingga sampai kaki. Aku tidak menyangka jika perbuatan suamiku sebrutal itu, untung saja aku masih bisa menandinginya. Karena kami memang sama-sama menyukainya, apalagi bersama dengan orang yang kita cintai, wajar jika Mas Irsan selalu mendambakan diri ini.

Dengan kedua pipi yang bersemu merah, aku berjalan mendekat ke arah ruangan bermain putri kami. Melihat wajahku yang tampak kesal, Mas Irsan yang tadinya sibuk dengan Indira kini beralih menatapku.

Pria itu menatap sejenak, lalu mengusap puncak kepala si buah hati kami. "Indi main sendiri dulu ya. Papa mau ngobrol sama Mama."

Si kecil mengangguk, tangan kecilnya sibuk dengan serba macam mainan miliknya. Sampai-sampai, ruangan yang tadinya rapih kini berantakan bagaikan kacal pecah. Tapi setidaknya Indira anteng dan tidak rewel seperti kemarin-kemarin. Sampai aku pun kewalahan menenangkan Indira.

Kulihat Mas Irsan berjalan ke arahku yang sedang duduk di sofa sembari bersedekap dada. Aku menekuk wajahku kala Mas Irsan sudah di hadapanku.

Mas Irsan berjongkok, merain kedua tanganku dengan kedua mata yang terus menatapku. Ya Tuhan ... siapa yang tidak beruntung di miliki pria baik, tampan dan romantis seperti Mas Irsan.

Beruntung aku mempunyai suami seperti Mas Irsan. Di antara banyaknya gadis cantik di luaran sana, dia justru memilihku. Irsan Diaskara, sosok pria yang membuatku semakin jatuh cinta di setiap harinya.

"Kok cemberut gitu? Kenapa?" Mas Irsan bertanya. Bibirnya mulai mencium punggung tanganku ini. Aku yang tadinya kesal jadi luluh seketika mendapat perlakuan lembutnya.

"Nggak tahu, intinya aku kesel aja sama kamu!" aku menimpali sekenanya, padahal dalam hati sudah berdebar tak karuan.

"Kesel kenapa, Jan? Emangnya Mas ada salah apa sama kamu?" Mas Irsan menatapku dengan sorot mata serius.

Melihat wajah tampannya, aku bahkan sering tidak menyangka jika pria tampan di hadapanku ini adalah suamiku. Terlalu berlebihan memang, tapi itulah kenyataannya.

"Udah tahu aku marah, malah nanya. Cowok emang gitu ya, suka nggak peka," sungutku yang mulai gemas dengan ketidakpekaan seorang pria.

"Ya mana Mas tahu, Yang. Kamu nggak bilang letak salahnya dimana, Mas 'kan bukan cenayang yang tahu isi hati kamu," kata Mas Irsan, dia menghela napas pelan lalu mengecup kedua pahaku.

Geli rasanya jika bibir pria itu selalu berlabuh dimana pun, jika bukan suami, sudah kumarahi dia.

"Emang harus bilang dulu? Emangnya Mas nggak ngerasa bikin salah?"

Mas Irsan duduk di sebelahku, tangan kekarnya membelai lembut pipi ranumku. "Mas nggak tahu. Perasaan tadi kamu baik-baik aja. Kenapa sekarang malah marah."

Menghela napas pasrah. Aku pun menunjukan betisku di hadapannya. Memang sulit menjelaskan pada pria yang kurang peka.

"Lihat ini, kelakuan kamu bikin dimana-mana. Aku malu Mas ketahuan Winar, aku sendiri nggak ngeh kalau tandanya sampai kaku. " Rasa kesalku semakin menjadi-jadi. Biarkan saja mulut ini mengeluarkan apa yang tertahan, semoga saja Mas Irsan mengerti.

Mas Irsan mengangguk-anggukan kepalanya pelan seraya membulatkan mulutnya. "Malu kenapa? Winar juga paham kali. Jadi cuma karena ini kamu marah? Bukannya kamu juga menikmatinya?" Mas Irsan menyeringai, tangannya sudah naik-turun mengusap punggungku yang memang di tutupi baju panjang.

Mendadak tubuhku menegang, apalagi melihat seringaian nakal di wajahnya. Sebisa mungkin aku bersikap biasa saja. Mas Irsan pasti akan semakin menjadi-jadi jika aku ciut seperti ini. Dia lebih suka aku yang agresif dan liar jika bersamanya.

Misteri Selingkuhan SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang