Tak terasa sudah 2 hari lamanya Winarni menginap di kediaman orangtuanya. Hari ini hari terakhir ia di Semarang, karena besok ia harus kembali bekerja, jatah liburnya hanya 2 hari saja. Beruntung Mas Irsan memberikan jatah libur, padahal bukan waktunya bagi karyawan untuk libur.
Winarni membantu membereskan barang-barang Mirna yang akan ia bawa ke kota bersamanya. Baju yang akan Mirna bawa tidak banyak, hanya sedikit saja. Toh di kota juga Winarni mempunyai banyak baju. Agar Mirna tidak kesulitan membawa barang saat di jalan. Bisa di bilang, hanya barang-barang penting saja yang ia bawa.
Winarni tersenyum melihat adiknya yang terlihat bersemangat mengemasi barang-barangnya. Meski dia bukan adik kandungnya, Winarni sangat menyayangi Mirna layaknya saudara kandung sendiri.
Ya, Winarni dan Mirna bukanlah saudara kandung, keduanya hanya saudara tiri saja. Dulu saat kedua orangtuanya menikah, Pak Djoko merupakan duda anak satu yaitu Winarni dan Bu Tyas merupakan janda anak 1 yaitu Mirna.
Waktu kedua orangtua mereka menikah, umur mereka waktu itu masih kecil. Namun saat keduanya beranjak remaja, Bu Tyas kabur entah kemana. Meninggalkan Mirna yang tinggal di rumahnya.
Itulah sebabnya Pak Djoko sangat sinis dan perhitungan pada Mirna, hanya karena dia bukan anak kandungnya. Winarni juga tidak mempermasalahkan hal itu. Baginya, Mirna adalah adiknya meski bukan terlahir dari rahim yang sama.
Tumbuh bersama-samalah yang membuat Winarni menyayangi Mirna, karena hanya Mirna yang selalu menemani Winarni ketika di keadaan suka maupun duka.
"Muka kamu kenapa Dek? Kok kelihatan sedih gitu? Kamu nggak mau ya Mbak ajak ke kota?" tanya Winarni, tangannya mengusap pipi sang adik bungsunya.
Mirna menunduk. Tiba-tiba ia merasa tidak enak hati. Ia merasa beban bagi kakak dan keluarganya. Dari kecil hingga dewasa dia besar di rumah ini. Hingga sekarang, sekolah pun harus di tanggung oleh kakaknya.
"Maafin aku Mbak, kalau aku nyusahin Mbak mulu. Mendingan aku nggak sekolah aja deh, aku mau nyari uang sama Mbak. Biar aku nggak nyusahin Mbak dan jadi beban hidup kalian," cicit Mirna. Air matanya mulai berkaca-kaca.
Perkataan adiknya membuat hati Winarni berdenyut sakit. Ia tidak tega jika adik bungsunya terus menerus menderita. Yang ia inginkan, Mirna berbahagia dan tetap melanjutkan pendidikan.
Biarlah dia hanya lulusan SMA, yang terpenting adiknya harus punya pendidikan melebihi dirinya. Karena ia tahu, hidup di kota tidak semudah yang di bayangkan.
Semenjak kepergian suaminya, Winarni jadi rela banting tulang demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Tidak jarang jika dia kesusahan hidup di sana, karena biaya hidup di kota sangat berbeda dengan di desa.
"Hust! Kamu ini ngomong apa sih Dek? Kamu nggak nyusahin Mbak, kamu bukan beban kita. Mbak akan membiayai hidup kamu, sampai kamu bisa jadi sarjana dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Karena Mbak tahu, hidup susah itu selalu di injak-injak orang. Mbak harap, adik Mbak ini bisa berhasil dan kamu akan tetap menjadi kebanggaan Mbak, Dek," papar Winarni.
Entah apa yang harus Mirna ucapkan selain kata terimakasih, atas kebaikan sang kakak. Jika tidak ada kakaknya, entah bagaimana hidupnya. Mungkin akan terlunta-lunta di jalanan.
Dari dulu hingga sekarang, hanya Winarni yang membiayai hidupnya. Mirna juga tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.
Benar kata sang kakak, ia harus berhasil di masa depan, agar ia bisa membahagiakan dan membanggakan sang kakak.
Ia tidak peduli, kemana pergi Ibu kandungnya itu. Yang jelas, Mirna tidak memikirkannya lagi. Yang ia pikirkan, ia harus mengubah nasib di luar kota.
"Mbak ... makasih banyak," ujar Mirna. Langsung berhambur ke pelukan Winarni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Selingkuhan Suamiku
RomansaKeanehan yang di rasakan oleh Rinjani ketika dirinya mengandung lagi, membuatnya curiga terhadap perilaku suaminya. Merasa penasaran, Rinjani memutuskan untuk menyelidiki setiap gerak-gerik suaminya secara diam-diam. Ia memutuskan untuk membuntuti s...