13. Merasa Janggal

188 6 2
                                    

Jempol Mas Irsan menghapus genangan air mata yang mengalir di mataku. Ia menangkup kedua pipiku, sembari memberikan ciuman di bibirku yang bergetar. Aku yang tadinya terisak tangis pun menjadi diam karena bibirku di bungkam olehnya. Pagut*n itu hanya sekilas, Mas Irsan kembali menatapku dengan wajah lelahnya

Aku malu, aku benar-benar merasa malu dengan apa yang aku ucapkan tadi. Harusnya aku tidak menuduh Mas Irsan begitu saja. Aku kasihan padanya. Wajah lelahnya membuat hatiku tersentel.

Harusnya aku menyambut kepulangannya, bukan malah menuduhnya selingkuh. Aku tahu aku salah, aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Aku hanya takut, jika memang suamiku memiliki hubungan gelap dengan wanita lain.

"Dengar Rinjani ... Mas nggak selingkuh di belakang kamu, sama sekali nggak. Kamu bisa tanya ke karyawan Mas kalau kamu nggak percaya dengan ucapan, Mas," kata Mas Irsan. Nada bicaranya sudah kembali selembut biasanya. Berbeda dengan tadi, bicara dengan nada tinggi dan tersulut emosi.

Aku terkejut, karena baru pertama kali melihat Mas Irsan semarah itu padaku.

Namun, itu salahku karena aku sudah menuduhnya. Terlebih jika Mas Irsan baru pulang kerja, aku malah mencari ribut dengannya.

Aku benar-benar merasa bersalah.

Aku menggigit bibir bawaku, menahan isakan tangis agar tidak terdengar. "M-maaf, harusnya aku nggak nuduh kamu seperti itu, Mas."

Mas Irsan tersenyum simpul, bibirnya kembali menghujani wajahku dengan bibirnya.

Sudah seminggu ini Mas Irsan tiba-tiba berubah sikap, dia juga jadi jarang menyentuhku, hanya sekedar mencium saja. Aku takut jika Mas Irsan mempunyai partner di ranjang, itulah sebabnya dia tidak meminta hak batinku lagi.

Aku tahu betul suamiku ini jika urusan ranjang, apa benar dia tahan tidak menyentuhku selama beberapa bulan? Aku hanya bisa berdoa, semoga Mas Irsan menjaga kesetiaan sampai waktunya menyentuhku.

"Alasan Mas tidak menyentuhmu karena Mas takut kelepasan nantinya, Yang. Mas takut, jika Mas sudah di selimuti hawa nafsu yang berujung menyentuh kamu. Mas nggak mau bayi kita kenapa-kenapa. Mas memilih menjaga jarak, supaya tidak terpancing. You know babe. Your body is my addiction," bisiknya tepat di samping telingaku.

Napasku tercekat, ketika ia mendorongku ke tembok dengan tergesa. Di kungkungnya tububku di tubuh kekarnya. Napas kami sama-sama memburu dengan netra mata yang bersitatap.

Di kehamilanku ini terlalu berisiko, kami tidak mau anak kami kenapa-kenapa. Tugasku harus percaya pada Mas Irsan. Dia sendiri yang mengatakan, jika dia akan menahannya demi keselamatan bayi kami.

Hatiku menghangat mendengarnya.

Ketika bibirnya sudah bersarang di leher jenjangku, aku menahan suaraku. Pikiranku jadi melalang buana saat tangannya menurunku tali gaun tidurku.

Terpampang jelas bahu putih mulusku tanpa terhalang oleh apa pun.

"Sebaiknya Mas mandi dulu, aku nggak suka parfume yang melekat di tubuh kamu, Mas," ujarku.

Suara decakan terdengar, Mas Irsan menarik tubuhnya hingga berdiri tegap.

Aku mendekat ke arahnya, membantu Mas Irsan membuka pakaian atasnya. Aku ingin mencari tahu, apakah di tubuhnya terdapat noda merah atau tidak.

Mas Irsan hanya diam dan memperhatikan yang melepas kancing jas dan kemejanya. Gerakan tanganku terhenti, saat menyadari kancing kemeja suamiku terlepas satu.

Apa Mas Irsan menyadari hal itu?

Mulutku ingin sekali melempar tanya lagi padanya. Tapi, mengingat kejadian tadi, pertanyaanku hanya mampu tertahan di tenggorokan.

Misteri Selingkuhan SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang