Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh sepasang kekasih berbeda dimensi itu, Haechan dan Mark. Dimana hari ini Haechan kembali ke Jakarta. Ya, walaupun Mark sedikit heran karena Haechan pulang lebih cepat daripada ucapan kekasihnya beberapa hari yang lalu.
"Kamu pulang lebih cepat."
Mark berbicara dengan lembut, jangan lupakan senyuman hangatnya yang selalu berhasil membuat Pudu-nya selalu merasa tenang dan nyaman.
Haechan tersenyum lembut ke arah Mark, sedangkan sosok hantu yang ada di hadapannya malah balas menatap senyuman itu dengan nanar.
"Keluargamu sudah tahu hubungan kita. Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya? Ah ... Tidak! Maksudku, apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Tidak mungkin aku menyerah begitu saja, kan?"
Mark berbicara tanpa jeda. Raut panik, khawatir, takut dan ingin menangis terekspresi pada hantu Kanada itu.
"Wajahmu jangan panik seperti itu, Mark. Ya ... Ayah dan Mae, bahkan Abang Hendery sudah tahu hubungan kita, Mark. Mereka semua sudah tahu tentang hubungan kita, Mark. Aku-"
"Pada intinya, apa kita akan tetap bersama atau berpisah?" potong Mark.
Mereka saling menatap satu sama lain. Tatapan mata yang penuh akan luka dan saksi secara tak langsung tentang akhir hubungan mereka.
Mark tersenyum kecil.
"Harus diakhiri ya?" lirihnya pedih.
Haechan menunduk.
Tubuh pemuda berkulit karamel itu bergetar hebat. Mark tahu, cintanya sedang menangis. Mark hanya bisa diam, tak bisa untuk menghentikan tangisan pilu sang pasangan. Biarlah cintanya meluapkan segala emosinya.
"Aku ... Aku tidak ingin berpisah, Mark. Aku ingin agar kita selalu bersama. Aku ... Aku tidak bisa untuk berpisah dengan kamu, Mark. Aku ... Aku tidak sanggup," jelas Haechan sesegukan.
Bibir Mark kelu seakan-akan tak mampu ia gerakkan sedikitpun hanya untuk sekedar mengucapkan satu kata atau satu huruf saja. Dia juga merasakan hal yang sama. Dia sakit. Dia tak ingin jauh dari dunianya. Dia tak ingin kehilangan cintanya. Dia tak ingin kehilangan semesta terindahnya. Tapi, pada hakikatnya hubungan mereka adalah hal yang sangatlah terlarang.
"Kamu membuat perjanjian dengan siapa? Mae-mu, Ayahmu atau Kakakmu?" tanya Mark pada intinya.
Haechan mengangkat pandangannya. Dia menatap mata sosok tak bernyawa itu dengan pedih.
"Ayah ... Aku membuat kesepakatan dengan Ayah. A ... Ayah memberiku waktu selama sebulan untuk melupakanmu," jawab Haechan pelan tetapi masih begitu jelas di telinga Mark.
Hancur sudah pertahanan Mark. Lututnya lemas hingga dirinya terduduk lesu di atas tepi kasur cintanya. Dia sudah menduga itu.
"Markkkk! Maaf! Maaf! Hiks! Maaf!"
Haechan berteriak keras sambil berusaha menggapai Mark.
Mark menangis dengan kepala menunduk dan menggeleng. Dia bisa melihat tangan Haechan yang tengah berusaha menggapainya, tetapi sialnya yang dia gapai hanya angin lalu saja.
Sepasang kekasih itu menangis di dalam kamar. Mark yang menangis tanpa suara dan Haechan yang menangis pilu. Perpaduan yang sempurna untuk mengisi kamar itu dengan suasana suram.
Semasa Mark hidup, dia adalah sosok yang tegar dan tak pernah menjatuhkan setetespun air matanya. Bahkan saat-saat terakhir dia meregang nyawa, dia masih sempat tersenyum tanpa meneteskan air matanya. Tapi, kenapa saat dia mengenal cintanya, dia malah menjadi selemah ini? Begitu sayangnya dia pada Haechan-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo | Markhyuck
Fanfiction"Kami benci takdir. Karena takdir kami bertemu. Dan karena takdir juga kami berpisah. Sialan kau takdir." - Indigo. ------------------------------------------ Lee Haechan, si pemuda Indigo kelahiran Bandung yang meninggalkan kampung halamannya dan m...