"Hari ini kamu benar-benar pindah ke sekolah tempat Jeno mengajar?" Jaemin bertanya penasaran.
Haechan menghela napas beberapa saat, lalu tak lama dia mengangguk.
"Masih belum bisa melupakan Mark ya?" tanya Jaemin pelan.
"Jangan menyebut namanya, Jaem-" Haechan terdiam beberapa saat.
"Itu menyakitkan," lanjutnya.
"Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar, Haechan. Kenapa masih mengingat dia? Ini sudah tujuh tahun berlalu. Bahkan sudah ingin masuk delapan tahun."
"Kau sudah sukses, Haechan. Kau bekerja sebagai guru dan memiliki toko bunga yang ramai pengunjung."
"Jangan lupakan dengan kerjamu yang sebagai guru les anak SMP juga!"
Jaemin menjelaskan dengan malas.
Ya, memang sudah tujuh tahun lebih berlalu semenjak kejadian terakhir kali Haechan berkomunikasi dengan Mark. Berkomunikasi terakhir lewat mimpi, sampai sekarang tak ada lagi komunikasi antara mereka karena Mark yang menghilang untuk selama-lamanya (?)
Sudah tujuh tahun terjadi banyak perubahan pada Haechan maupun di lingkungan sekitarnya. Dimana kedua orang tua Haechan meninggal tiga tahun yang lalu karena kecelakaan. Hendery yang juga sudah menikah dengan salah satu aktor China. Dan Haechan, dia mengalami banyak perubahan, amat sangat.
Dimana Haechan makin pendiam dan lebih suka melamun serta tenggelam dalam dunianya sendiri. Dimana Haechan berhasil mendapat gelar S.Pd dan mengajar di beberapa sekolah. Dan sekarang, ini sekolah ketiga tempat dia mengajar, di sekolah SMK yang sama dengan Jeno. Ya, Jeno juga bekerja sebagai seorang guru, begitupun dengan Jaemin yang bekerja sebagai guru seni di salah satu Sekolah Dasar yang ada di Jakarta.
Untuk kerja sampingannya, Haechan bekerja sebagai guru les untuk anak SMP. Ah ... Dia juga punya toko bunga yang lumayan besar.
"Jadi, lupakan Mark agar kau tak larut dalam kesedihan seperti ini. Kasihan dengan hati dan tubuhmu, Haechan," jelas Jaemin memohon.
Haechan menunduk singkat sambil tersenyum tipis. Tak lama, dia mengangkat pandangannya dan menatap Jaemin dengan nanar.
"Aku tak ingin terus menerus mengingat hal-hal yang membuatku sakit. Sakit itu tak enak. Tapi, aku tak tahu bagaimana cara menyembuhkannya. Aku sudah berusaha tetapi sulit."
Jaemin terdiam saat mendengar jawaban Haechan. Dia tahu memang sangat sulit untuk sahabatnya itu, ditambah lagi Mark adalah sosok yang membuat Haechan tahu tentang apa itu cinta.
"Udah akh! Jangan terlalu membahas masa laluku. Bagaimana kalau kita membahas masalah hubunganmu dengan Jeno? Pasti ada kemajuan, kan?" tanya Haechan menggoda.
Jaemin tersenyum lebar, tetapi tidak dengan hatinya yang sekarang tengah menahan sakit.
"Huh! Dia masih dingin dan tak peka!" jawab Jaemin sambil mengerucutkan bibirnya.
"Dasar anak itu ya!" balas Haechan tak kalah kesal.
"Tidak. Dia sudah peka, Haechan. Hanya saja, dia menolakku karena dia hanya mencintaimu," batin Jaemin pahit.
"Nanti akan kuurus agar dia peka. Akan kuurus itu secara tipis-tipis," ucap Haechan menenangkan sang sahabat.
"Sekarang, kita berangkat ke tempat kerja masing-masing. Aku harap agar hari pertamaku berjalan mulus di sekolah baru tempatku mengajar. Semoga," gumam Haechan.
Jaemin tersenyum kecil.
Kedua pemuda manis itu mengendarai sepeda mereka masing-masing. Jangan heran kalau mereka menggunakan sepeda, itu karena sekolah tempat mereka mengajar tak terlalu jauh. Setidaknya bisa mengurangi ongkos dan populasi udara, itu pikir mereka.
Mereka berpisah arah usai di persimpangan dekat lampu merah.
"Hah ... Melupakan Mark ya? Sulit..." lirih Haechan.
Haechan tak henti-hentinya mengingat Mark, bahkan sampai sekolahpun dia masih mengingat sosok kekasihnya itu. Haechan masih menganggapnya kekasih, jangan lupakan kalau mereka belum pernah mengucap kata putus.
"Hei! Haechan!"
Haechan melambaikan tangannya ke arah Jeno yang berlari kecil menghampirinya.
"Kupikir kamu sudah di sini," ucap Jeno.
"Sedikit terlambat. Jaemin datang ke kost-an ku dan mengajakku bergosip. Jadilah kami berangkat lama," jawab Haechan.
Jeno tertawa kecil.
"Submisif bila bertemu hobi bergosip ya?" ledek Jeno sambil merangkul pundak Haechan.
"Cih! Menyebalkan," malas Haechan.
Jeno kembali terkekeh.
"Kuantar ke ruang kepala sekolah ya? Aku tak bisa mengantarmu lebih lama. Aku ada urusan dengan anak waliku," ucap Jeno.
"Kau wali kelas di sini?" tanya Haechan.
Jeno mengangguk.
"Kelas XII Listrik," jawab Jeno.
"Ouh ... Jurusan listrik? Cocok sepertimu yang urakan," ledek Haechan.
Jeno mendengkus.
"Kau lebih menyebalkan," malas Jeno.
Akhirnya Jeno mengantar Haechan ke ruang kepala sekolah, lalu setelahnya dia ke kelas anak walinya.
Saat Haechan baru menginjak ruang guru, sebab ruang kepala sekolah juga di sana, mata Haechan membulat lebar.
Satu objek yang membuat perasannya campur aduk. Haechan menggeleng pelan, berharap agar apa yang dia lihat hanya halusinasi semata. Hingga akhirnya-
"Apa kau tak bosan selalu dihukum? Lepaskan antingmu, Mark!"
"MARK?!"
Suara keras Haechan berhasil membuat atensi semua orang yang ada di ruangan itu menatapnya, termasuk sosok yang membuatnya lupa akan dunia.
- 💮💮💮 -
"Semesta mengembalikan cintaku? Benarkah itu cintaku? Aku rindu."
- 💮💮💮 -
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo | Markhyuck
Fanfiction"Kami benci takdir. Karena takdir kami bertemu. Dan karena takdir juga kami berpisah. Sialan kau takdir." - Indigo. ------------------------------------------ Lee Haechan, si pemuda Indigo kelahiran Bandung yang meninggalkan kampung halamannya dan m...