24

901 91 23
                                    

Tatapan kosong itu kembali terpampang pada kedua bola mata karamel milik Haechan. Otaknya tak berhenti untuk terus memikirkan salah satu muridnya. Siapa lagi kalau bukan Mark Lee.

"Mereka sama..."

"Mereka sama..."

"Dia Mark-ku, tetapi bukan juga Mark-ku."

Haechan memegang kepalanya yang terasa berisik, sesekali dia memukul kepalanya dan berharap agar suara berisik itu pergi.

Tak lama dia tertawa pedih dengan air mata mengalir.

Haechan membuka jendela kamarnya sambil menatap langit malam dengan tatapan yang penuh kepedihan.

"Aku rindu dengan cintaku. Aku rindu dengan duniaku. Aku rindu dengan poros senyumanku. Dan aku sangat merindukan cinta pertamaku. Aku membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan takdir! Sangat!"

Nada suara yang terdengar penuh benci dan begitu dingin Haechan keluarkan dari mulutnya sambil menunjuk langit malam, seakan-akan langit malam dengan kurangnya bintang itu adalah takdir dan musuhnya.

Haechan berjongkok sambil menjambak rambutnya dengan begitu frustasi. Dia tak tahu harus melawan traumanya ini dengan apa.

Meminum obat akan merusak tubuhnya, tetapi itu juga akan membuatnya tenang. Haechan berjanji pada dirinya sendiri kalau dia akan sembuh tanpa bantuan obat, tetapi dia selalu mengingkarinya di setiap hari.

Haechan mengambil beberapa pil obat yang memang sudah dia konsumsi selama seminggu setelah Mark cintanya tak muncul lagi di hadapannya.

"Benar apa kata murid tadi. Aku calon pasien rumah sakit jiwa..." lirih Haechan sambil menatap pil obat di telapak tangannya dengan nanar.

Haechan menangis terisak sambil menelan pil obat itu tanpa meminum air setelahnya. Itu adalah hal yang biasa untuknya.

Pintu kamar Haechan tiba-tiba terbuka dengan keras, lalu muncullah sosok sahabatnya, Jaemin.

"Haechan!"

Jaemin dengan cepat berlari sambil memeluk Haechan, sedangkan Haechan hanya bisa diam sambil menatap kosong tanpa membalas pelukan Jaemin.

"Jangan terlalu melamun dan pikirkan kesehatanmu. Sudah beberapa hari kau tak makan dan hanya memakan cemilan saja! Ingat! Kamu harus sehat dan jangan tenggelam dengan traumamu itu!" tegas Jaemin.

Haechan tertawa hambar.

"Andai saja kejadian itu tidak pernah terjadi, mungkin trauma dan rasa takutku ini tak ada di dalam diriku. Aku trauma hidup sendiri tanpa adanya Mark..." lirih Haechan.

"Aku ingin dia kembali, Nana..." putus Haechan serak.

"Apa yang kamu inginkan kembali?! Kau ingin agar dia kembali ke dunia ini dan hidup bersamamu?! Apakah kau tidak sadar kalau bahkan sebelumnya kalian sudah tidak bersama? Kalian melawan takdir!"

"Bahkan sebelum kalian bertemu, kalian sudah dibedakan oleh dunia masing-masing. Dari segi nafas saja kalian tak searah."

"Dari segi kemampuan saja, kalian juga tak searah!"

"Apa kamu belum sadar sama sekali?!"

Jujur, Jaemin juga muak melihat Haechan yang akan selalu curhat dengannya tentang dia yang selalu ingin bertemu dengan kekasihnya, Mark si hantu Kanada. Tapi, Jaemin menahan diri untuk tidak memarahi sahabatnya itu lebih jauh, mengingat bahwa jatuh cinta pada sesuatu yang tak ada memang sangatlah menyakitkan.

Jaemin hanya bisa diam sambil mengelus punggung Haechan, berharap agar sahabatnya itu cepat merasa tenang.

Hampir satu jam lamanya Haechan menangis hingga dia benar-benar tenang.

Indigo | MarkhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang