15. Kemah tahun kedua

22 4 0
                                    

Saat itu, di perkemahan sekolah di tahun kedua, tepatnya pada malam terakhir perkemahan sekolah di tahun itu. Malam terakhir puncak acara perkemahan, malam dimana api unggun menyala.

Sore menjelang malam hari sebelum acara api unggun dimulai.

"Na, gak bosen ditenda terus?" tanya Karin, sepertinya dia berencana mengajak aku jalan-jalan disela-sela waktu istirahat ini.

"Enggak lah, orang kita baru aja selesai 'menjelajah' . Capek, mending tidur."

"Dihh, liat yang latihan buat upacara api unggun yuk?" ajak Karin.

"Gak." jawabku singkat.

"Ihh ayo dong, aku gak bisa tinggalin kamu sendirian disini. Mending ikut aku yuk." Karin menarik tanganku tanpa aba-aba, dia berusaha membawa aku keluar dari dalam tenda.

"Ihh ngapain, tinggalin aja gakpapa, lagian gada yang mau nyulik juga." kataku sambil memberontak.

"Diem deh, ayo ikut!!" Masih sambil menarik aku agar mengikutinya.

"Iya-iya, tapi gak usah tarik-tarik juga!" kataku akhirnya menurut.

Kita menuju kelapangan, untuk sampai disana harus berjalan melewati satu tanjakan dan kurang lebih melewati 2 tenda yang lain. Sesampainya di lapangan, kami duduk dibawah salah satu pohon yang sangat menjulang tinggi. Dari sini, terlihat beberapa anggota yang sedang latihan untuk upacara api unggun malam nanti.
Sore itu, terlihat yang lain sedang menikmati suasana, namun lain denganku. Aku malah merasakan hal yang sebaliknya. Aku merasakan sesuatu hal yang aneh, rasanya sangat ingin menangis saat ini juga. Perasaan ini datang setelah selesai pergi 'menjelajah' kehutan dekat area perkemahan kami. Saat melakukan penjelajahan, kami melewati satu pohon yang bisa dibilang pohon ini adalah pusat dari hutan yang sedang kita jelajahi. Pohon itu lebih besar dan tinggi jika dibandingkan dengan pohon-pohon yang lainnya, batang pohon itu berwarna putih dan akar yang merambat keluar dari tanah.

Kami juga melihat ada papan peringatan didekat pagar pohon itu, entah apa isinya aku tidak sempat membacanya.

Karin yang menyadari aku sedang melamun menepuk pelan bahuku.

"Kenapa?" katanya pelan seperti agak berbisik.

"Enggak, aku mau ke tenda ya." pintaku.

"Aku temenin."

Ditengah perjalanan kembali ke tenda, aku merasa tidak kuat lagi berjalan. Sesampainya di tenda, aku jatuh begitu saja, aku tidak pingsan, hanya saja aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.
Rasa itu kembali, rasa ingin menangis. Sesaat setelah merasakan itu, aku menangis sejadi-jadinya, aku tak bisa menahannya. Bahkan, kini banyak anggota lain di luar tendaku yang penasaran karena tangisanku. Salah satu guru datang menghampiri dan mencoba menyadarkan ku dengan menekan jempol salah satu kakiku. Tapi tetap saja, aku tidak merasakan apapun.
Perlu diketahui aku sadar, aku menyaksikan semuanya dengan jelas.

Aku bisa melihat mereka membawa tandu hendak membawaku ke tenda PMR. Tapi, aku hanya bisa mendengar suara tangisanku saja, dan tidak ada suara lain selain tangisanku.

Setelah lamanya hal ini terjadi akhirnya aku bisa mengendalikan diriku. Aku tidak tahu bagaimana caranya, aku hanya tau aku tidak bisa mengendalikan diriku itu cukup lama sampai membuat aku merasa lelah.

Upacara api unggun pun tiba, ayah dan om Yazdan datang menjengukku.

"Aman gak kak?" tanya ayah tiba-tiba.

Aku hanya menggeleng menandakan ada sesuatu hal yang tidak beres, untuk menjawab pertanyaan ayah.

"Tadi ikut penjelajahan?" tanya nya lagi.

"Iya, lagi haid juga dari pas sampe sini"

"Pantesan." jawab om Yazdan tiba-tiba.

Aku kebingungan mendengar jawaban yang baru saja dikatakan om Yazdan. Ayah dan om Yazdan pergi sedikit menjauhiku. Terlihat ayah dan om Yazdan sedang berbincang, tanpa mengajakku tentunya.

"Hah, maksudnya?" batinku.

Ayah dan om Yazdan kembali menghampiriku, setelah menyelesaikan perbincangannya.

"Ambil air minum na."

Perintah om Yazdan. Aku pun pergi mengambil air tanpa menanyakan untuk apa, walaupun aku penasaran.

"Ini airnya." Aku kembali dengan air yang diminta om Yazdan dan memberikan air itu kepadanya.

Tanpa mengucap sepatah katapun om Yazdan pergi kearah hutan yang lebih dalam.

Tak lama, om Yazdan pun kembali dan menyuruhku untuk membasahi wajahku dengan air itu. Aku menurut saja dan saat itu juga aku langsung membasahi wajahku sambil membaca dua kalimat syahadat dalam hati. Segar rasanya setelah membasahi wajahku dengan air itu, padahal kalo diminum rasanya tidak enak sama sekali.

Setelah melakukannya perasaanku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku kembali melanjutkan acara malam itu sampai besok siang, hari penutupan acara perkemahan sekolah.

Selesai perkemahan sekolah di tahun kedua,

aku kira semuanya selesai. Namun, siapa sangka setelah mengalami kejanggalan di sana, aku kerapkali bermimpi kedatangan seorang perempuan berbaju putih dengan rambut panjang yang menutupi setengah wajahnya. Bahkan kerap kali suaranya terdengar saat aku belajar malam hari. Suaranya terdengar seperti perempuan yang sedang menangis pelan tapi aku dapat mendengarnya dengan jelas, terkadang juga terdengar suara gamelan atau suara seorang sinden. Itu terjadi bukan hanya sekali atau dua kali, tapi itu kerap terjadi ketika aku ingin membiasakan diri untuk tidur sendiri.
Awalnya Aku merasa sangat takut, bahkan pernah saat itu aku ikut menangis sehingga suaranya tidak terdengar lagi di telingaku. Karena kejadian itu, aku tidak pernah berhasil untuk tidur sendiri di kamarku sampai waktu malam berakhir.

Ada satu hari, saat itu seluruh lampu di desa mati, aku memainkan bayangan tanganku di dinding, namun bukannya mengikuti gerakanku bayangan itu malah membentuk gelombang. Terlihat seperti kain yang tertiup angin, bergelombang seperti ombak di lautan. Tapi anehnya tidak ada kain ataupun barang lainnya yang bisa membuat gerakan seperti itu di kamar, terlebih lagi api itu juga diam saja karena tidak ada angin yang mengenainya.



(Bagi yang tau tempat aslinya Buper ini diem-diem aja ya. Aslinya gak seserem itu, karena kalau diliat langsung tuh bagus banget pohonnya)

Dari Aku 'Yang Tak Berjudul'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang