Mukadimah

272 34 22
                                    

Dengan nama Cinta yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. 

Aku bersaksi tiada Cinta yang kucintai melebihi Engkau.

Sesungguhnya segala sesuatu memiliki awal dan akhir. 

Hari ini aku sudah berdiri di atas mimbar api, melucuti topengku satu per satu, menumpuk duka di atas lara, dan mengatakan apa yang harus kukatakan. Mataku tak bisa menghitung jumlah manusia di lembah ini. Tapi telingaku bisa mendengar jelas rintihan, tangisan, lolongan, teriakan, dan jeritan dengan jelas, padahal lembah ini hanyalah pemberhentian sejenak sebelum masuk ke dalam lembah berikutnya.

Tubuhku berbicara tanpa diminta orang-orang. Lidahku tak bertulang, dan mencoba memutar balik ingatan yang kupendam baik-baik semenjak Hari Alastu. 

Cinta, aku merangkak dan melata agar mampu mereguk Cahaya-Mu. Aku ingin berhenti dari pertempuran panjang ini. Perutku menolak hidangan keburukan, lidahku hendak mencicipi manisnya kebaikan. Sudah lama sekali kepalaku menolak mencium tanah di hadapan segumpal tanah. Dalam iriku, kututupi kulit dengan jubah ketakaburan, membiarkan kainnya dicium bergantian oleh para pengikut setia di balik dinding-dinding masjid, gereja, kanisah, kuil, dan istana. 

Dahulu kakiku pernah menginjak lantai Basilika Santo Petrus, dan keduanya bersimpuh di hadapan seorang Romo yang menjadi penerus Shamoun as-Safa. Kukatakan padanya, mulutku ingin mencicipi roti dan anggur, wajahku mendamba air suci, dan punggungku siap didera sepanjang tahun.

Romo itu berkata, apabila aku menjadi bagian dari kawanan domba, puluhan fresko di atas kepalaku akan kehilangan makna dan keagungannya. Bahwa untuk menghapus noda-noda hitam di jubahku, dunia akan kehilangan bahan bakarnya. Takkan ada lagi pergolakan hebat dalam batin manusia, takkan muncul penemuan-penemuan hebat yang lahir dari rahim perang, takkan berkibar panji-panji yang mengatasnamakan kebaikan. 

Maka, kedua kakiku memilih berpulang ke Yerusalem. Kuketuk pintu Kinasah Agung, dan sekali lagi, keduanya bersimpuh di hadapan seorang rabbi. Lidahku tak bisa menahan hasrat mendekati cahaya di atas cahaya, dan ia mulai bernyanyi. 

Namun Rabbi itu memintaku berhenti. Dia bertanya, jika aku memilih beriman, apa yang menjadi pembeda di antara satu manusia dengan manusia lain? Apa yang menjadi pembeda Bani Israel dengan bani-bani lain di muka bumi kelak, apabila kerakusan dilenyapkan, kejelekan dihapuskan, dan semua pengikut setia ketakaburan dirontokkan? Hatiku semakin mencelus.

Tapi kedua kakiku masih enggan menyerah. Kebetulan, kudengar seorang mufti sekaligus Imam Besar Masjidil Haram tengah melakukan perjalanan menuju Yastrib. Kucegat kafilahnya dan meminta ia mengikuti langkahku menuju sebuah gua tua. Di mulut gua, kedua kakiku kembali bersimpuh, lidahku tak kuasa menahan nyanyian pedih.

Imam itu tampak menghela napas dan berpikir keras. Dia bertanya mengenai hal-hal yang tak bisa kujawab. Selama ini, seluruh muslim bertaawuz sebelum membaca ayat-ayat cahaya. Seluruh laknat selalu jatuh padaku, agar tiap insan selalu terhindar dari bisikan, tindakan, maupun muslihat. Sepertinya dia mengkhawatirkan apa yang akan terjadi pada dunia apabila seluruh kegelapan musnah. Kakiku rasanya semakin terperosok ke jurang tanpa dasar.

Tubuhku hampir menyambar langit ketujuh jika saja Ruhul Kudus enggan menghalau tangisku. Sayapnya membentang dari barat ke timur. Tiap helai bulunya mengumandangkan kata-kata yang tak ingin kudengar.

Bahwa ketidakhadiranku di muka bumi akan merobohkan pilar-pilar tempat peribadatan, mengguncang dinding-dinding kerajaan, meremukkan topeng-topeng manusia, dan meluluh-lantakkan segala keniscayaan. Bahwa kebenaran takkan ada nilainya tanpa kebatilan, keluhuran luluh tak bersisa tanpa kehinaan, dan putihnya cahaya takkan berharga lagi tanpa hitamnya zulmat. Bahwa manusia takkan mampu melihat cahaya Cinta selain dari sela-sela jubahku.

Cinta, izinkan aku bersaksi, bahwa semenjak hari itu, aku telah menjalankan peranku sebaik-baiknya, sesakit-sakitnya, sepedih-pedihnya, dan seikhlas-ikhlasnya. Tiada yang lebih kudambakan selain menengadahkan wajah dan melihat senyuman pengampunan-Mu, sampai tubuhku hanya tinggal dua ujung busur panah dengan cahaya-Mu.

Segala puji bagimu, Cinta, yang telah mengembalikan ruhku menuju buaian-Mu. Tanpa neraka dan surga pun, aku masih mencintai-Mu. Selama ini hatiku menyalahkan Engkau, menghakimi dan meludahi segumpal tanah liat yang Kausiram dengan bilah-bilah cahaya. Apabila kauperintahkan ruhku untuk sujud pada tiap insan, akan kulakukan dengan sukarela. 

Pada hari ini, telah Kaugariskan takdirku, Kausudahi peranku, dan Kaupulihkan mataku yang buta. Sesungguhnya semua samudra di bumi tak mampu menampung air mata kerinduan dan penyesalanku pada-Mu, dan aku bersyukur karenanya. Kupersembahkan, kurelakan, dan kuserahkan segenap ruh-tubuh ini di altar persembahan terbaik.

Dengan nama-Mu, Cinta, aku hadir dan lenyap.

Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang