Selamat Datang

31 10 2
                                    

W-O-N-G-S-O-R-E-J-O. 

Selamat datang di Wongsorejo.

Aizar tersenyum kecil ketika membaca tulisan itu dinding yang retak. Dinding itu panjangnya mungkin tak melebihi satu pohon kelapa dewasa. Catnya luntur, ada bagian yang retak pula. Aizar pelan-pelan berusaha membaca tulisan di dinding itu.

Sejak manusia surut dari muka bumi, langit dan bumi jadi jauh lebih baik daripada sebelumnya. Setidaknya untuk sekarang.

Namun, senyuman rusa jantan itu tak bertahan lama. 

Begitu sampai di puncak tanjakan, Aizar melihat sebuah patung manusia berdiri di kejauhan. Jantungnya berdegup kencang untuk sesaat. Gigi-giginya gemeretak, dan keempat kakinya memaksa bergerak ke dalam semak di samping kiri jalan. Tapi niatnya urung. 

Napasnya kembali teratur setelah memastikan tak ada manusia yang bersembunyi di bawah patung itu. Meskipun ragu, ia beranikan diri untuk segera berjalan melalui ujung pantai tersebut. Kepala Aizar bolak-balik menoleh ke kanan dan ke kiri, takut ada laras senapan atau panah yang hendak mengincar urat nadinya. Namun, hal yang ia takutkan tak terjadi.

Aizar hanya ditemani debur ombak, angin sepoi-sepoi, dan tatapan patung yang menyeramkan. 

Kalau diperhatikan dari dekat, tangan kiri patung itu tengah mengenggam kipas kemerah-merahan, sementara tangan kanannya menjulur ke arah seuntai kain berwarna merah pula. Ada mahkota kuning keemasan di kepala patung itu. Mirip warna mata Aizar, tapi lebih sayu dan luntur. Sepertinya memang sudah tak ada manusia yang merawatnya.

Tatapan Aizar kembali menyorot lereng terjal di samping kiri jalan. 

Ada deretan rusunawa di atas sana. Cat putihnya sudah luntur, dan dindingnya banyak yang retak. Aizar punya firasat kalau bangunan tersebut ditinggalkan secara tiba-tiba.

Kalau aku ke atas, mungkin aku bisa memastikan ada musuh atau tidak. Mungkin juga ada rumput segar, katanya dalam hati.

Nyali rusa jantan itu ternyata besar juga. Ia mengurungkan niatnya untuk mengikuti jalan raya di medan ini, lalu berjalan cepat menuju tanjakan tadi. Matanya kembali bertemu dengan papan nama daerah di dinding. Kaki-kakinya yang tak terbiasa menapak aspal panas, akhirnya bisa merengkuh rerumputan kering. Ia melepaskan napas lega.

Aizar berusaha menahan liurnya di kerongkongan. Rasanya ia masih lapar walaupun tadi subuh sudah memakan beberapa gulung rumput. Segenap kuku kakinya ia kerahkan mendaki bukit, berharap tak ada manusia di reruntuhan itu. Akan lebih baik lagi apabila ada sejumput rumput segar. 

Ia akhirnya sampai ke puncak tebing. Rusa jantan itu bisa melihat tempatnya melangkah tadi di bawah tatapan patung. Reruntuhan apartemen dua lantai dan rusunawa tiga lantai berjejer menyambutnya.

Pipa-pipa paralon pendek berserakan, bercampur dengan bongkahan batu bata kemerahan. Banyak railing balkon yang keropos dan jebol. Kabel listrik menjuntai di sepanjang sekat rusunawa. Aizar mencoba mengikuti kabel tersebut ke sela-sela bangunan. 

Mata rusa jantan itu menangkap dua semak belukar tipis, masih hijau dan segar. Aizar hendak segera memamah gulungan rumput itu, tapi jantungnya kembali berdegup kencang.

Di depannya, seorang anak manusia berdiri. Gadis kurus dengan rambut pendek, rok pendek yang terkibas di udara, legging dan sepatu hitam, dan seragam putih bercorak kebiruan. Kepala anak itu mulanya menoleh pada reruntuhan rusunawa di samping kanan Aizar. Tapi karena kurang berhati-hati, kuku kaki sang rusa berbulu putih tak sengaja meremas bongkahan batu bata di bawahnya hingga remuk.

Ludah Aizar tertelan. 

Kedua mata mereka saling bertemu.


Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang