Call Center

10 6 0
                                    

Azriel membanting pintu kamar apartemennya sepelan mungkin.

Nyaris seluruh warna telah luntur dari wajahnya, hilang di antara langkah kaki yang lunglai. Berkali-kali ia menghela napas pendek, meremas gagang pintunya sembari memejamkan matanya berkali-kali. Laki-laki berusia seperempat abad itu berusaha keras untuk membuka jaket biru, sepatu pantofel, kaus kaki, seragam kerja, dan jam tangan dengan sabar, menahan getaran gerah dari dalam tubuh dan dinginnya udara dari luar.

Azriel berusaha menyapu seluruh sudut kamar dengan pandangan sayunya dan teringat sesuatu yang berusaha ia lupakan.

Seharian penuh, ia duduk dalam sebuah cubicle sempit bersama para pekerja yang ia pun tidak tahu nama panjangnya. Hanya ada monitor, keyboard, telepon, cermin, dan air minum di depan meja. Selama shift-nya belum selesai, ia harus bersiap memasang senyum terbaiknya dan mendengarkan orang-orang asing berbicara. Semuanya harus ia dengarkan satu per satu.

Jari-jemarinya hampir mati rasa. Mungkin kalau sehari semalam ada di sana, sekujur jarinya bisa membiru. Sepuluh jari rasanya tak cukup untuk meladeni para konsumen yang selalu menanyakan keberadaan manajer, detail produk baru, telepon iseng, dan ucapan-ucapan pedas yang kadang membuat giginya gemeretak.

Azriel menyalakan gawainya. Masih pukul setengah satu malam.

Laki-laki itu tersenyum kecut, lidahnya menggulung ludah ke dalam kerongkongan. Aroma dan manisnya anggur masih ia rasakan, bersembunyi di sela-sela gusi. Kepala pria itu sudah mulai berkunang-kunang.

Tapi, rencana Azriel malam ini tidak akan berubah.

Azriel merebahkan diri menuju pangkuan bantal dan kasurnya. Ia menatap harmonika milik adiknya yang bersarang di atas meja belajar. Alat musik tersebut tampak kusam, dilapisi selimut debu yang tipis. Sudah lama Danyal tak berkunjung kemari dan memainkannya. Adiknya lupa membawa pulang alat itu waktu terakhir kali berkunjung ke indekos dulu. Tiap kali Azriel berusaha mengembalikannya, adiknya bilang kalau dia yang bakal mengambilnya sendiri.

Laki-laki itu jadi teringat sesuatu. Jari jempolnya mengusap layar gawai, kemudian menekan aplikasi kontak. Mata coklatnya mulai menggulir daftar nama-nama orang yang tersimpan dalam ponselnya. Akhirnya, setelah berpikir agak lama, ia dengan mantap menekan satu nama di layar.

Laki-laki berambut hitam itu menghela napas sedalam-dalamnya, sepanjang-panjangnya.

Baru saja saat ia menekan tombol loud speaker, seseorang di seberang sana sudah mengumandangkan suaranya.

"Halo, Ri? Kamu sudah pulang?" ujar seorang perempuan bersuara lemah lembut.

Azriel memejamkan mata, berusaha membelai rambut perempuan itu dalam khayalan. "Iya, sudah, Kamu gimana?"

Perempuan itu menahan suaranya beberapa detik sebelum berkata, "Sudah mau tidur. Kenapa? Kamu mau keluyuran, lagi, ya?"

Azriel refleks membuang mukanya dari gawai.

"Berhenti dulu, ya. Kali ini, aja. Besok kamu masih kerja. Jangan macem-macem," sambung perempuan di balik layar.

Laki-laki itu bergumam tak jelas, mendengungkan sesuatu. Pandangan matanya kini bermain-main dengan dinding kamar yang kusam. Pita suaranya enggan berkumandang. Tubuh Azriel semakin gerah dan panas dalam kamar yang tertutup. Ditambah lagi ia terngiang-ngiang dengan harmonika di atas meja belajar tadi.

"Maaf ya, tadi aku belum sempat menghubungi lagi. Masih ada asistensi," kata sang wanita, suaranya terbenam dan rebah di dekat bantal.

"Iya, gapapa. Bukan salahmu," jawab Azriel singkat.

Lelaki itu bersumpah bisa mendengar sang perempuan mengambil napas sesaat sebelum berkicau kembali. "Kamu mau cerita apa, sih? Tumben kamu telepon abis tengah malem. Ada apa?" tanya perempuan itu lagi.

Kerongkongan Azriel terasa pahit. Seperti ada laba-laba yang tengah membangun jaring di dalamnya. "Nggak apa-apa. Cuma ingin mengucapkan saja."

Perempuan itu mendecakkan lidahnya. "Oh, ucapan seperti biasanya?"

"Ya, seperti biasa," ucap lelaki itu pelan.

"Oke, selamat malam, kalau begitu, mimpi indah," katanya sambil memoncongkan dan mempertemukan dua bibir di kejauhan.

"Ya. Selamat malam," tutup Azriel sembari berbicara kepada angin.

Azriel tersenyum lega. Setidaknya ia tidak perlu bermimpi indah untuk malam ini. Hutangnya telah lunas satu.

Laki-laki jangkung itu memiringkan kepalanya untuk melihat jam yang terpaku ke dinding kamar. Pukul satu kurang lima belas menit. Ia berusaha bangun dari kasur, memaksakan otot-ototnya yang kaku setelah hampir seharian duduk di depan layar. Tangan kanannya merogoh sebungkus rokok dari kantung celana. Tinggal dua yang tersisa. 

Dibukanya kenop pintu perlahan sembari melangkah ke balkon apartemen di lantai tiga puluh. Ia biarkan kipas angin menyala, lalu jendela kamarnya ia buka sedikit agar di dalam tak terlalu pengap. Matanya menoleh pada salah satu pintu kamar yang berseberangan dengan kamarnya. Nomor tujuh puluh dua, dengan jendela yang tertutup rapat, lampu mati, dan tak ada sandal.

Kali ini, Azriel menggulir layar ponselnya lebih cepat. Pikiran laki-laki itu tertuju pada satu nama.

Ia menekan nama tersebut dan menunggu selama beberapa saat.

Beberapa detik kemudian, layar gawai berganti tampilan.

"Bro! Lo di mana sekarang? Nggak mau ikutan di klub?" Azriel kenal suara bariton khas itu.

Azriel refleks menyeringai, tetapi kemudian air mukanya berubah.

"Nggak dulu. Gue baru pulang. Ini cuma ucapan selamat malam," balas Azriel sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Pria di ujung telepon tersebut terdiam, lalu mendengus sesaat. "Masih aja rupanya. Lo kenapa sih, tiap malem ngucapin kayak gini segala? Kayak anak kecil aja, lo."

Senyum Azriel melebar. "Tenang aja, gue bakal berhenti, kok."

"Kapan?"

"Selamat malam, bro," ucap Azriel, memutus sambungan sepihak. Lelaki itu mengembuskan napas lega.

Tinggal beberapa menit lagi.

Ia menatap layar gawainya, kemudian kembali menggulir nama-nama orang di dalam catatan kontaknya. Mata laki-laki berambut hitam itu terfokus pada salah satu kontak.

Telunjuknya menekan nama kontak tersebut, membuka ruang percakapan antara mereka berdua. Azriel mulai mengetik.

Ayah, mau telepon kapan lagi?

Beberapa saat kemudian, suara notifikasi keluar dari pelantang suara.

Ini Ayah ada kerjaan, besok pagi ya.

Azriel tersenyum kecut. Ia mengetik dengan cepat.

Oke, Yah. Titip salam buat adiknya, ya.

Laki-laki berusaha menahan napas selama beberapa detik, kemudian mengembuskannya dengan perlahan. Setidaknya, sekarang hutangnya tinggal satu.

Ia menutup aplikasi telepon tersebut dan keluar ke layar utama sembari bergerak ke pinggir balkon. Sudah jam satu lebih lima menit. Jari-jemarinya mengusap-usap lembut layar tersebut. Ada secarik foto keluarga di sana. Ayah, Azriel, Danyal, dan mendiang ibunya.

Telinganya bisa menangkap sayup-sayup suara adzan dari kejauhan. Lelaki itu membanting pandangannya ke arah trotoar jalan. Suara hatinya turut berkumandang.

Selamat malam, Tuhan.

Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang