Asiya dan Sepiring Rawon

22 9 7
                                    

Bagi Asiya, menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya sama saja dengan beribadah kepada Tuhan. Tiap tumisannya adalah basmalah, tiap gerusannya adalah istighfar, dan tiap gorengannya adalah hamdalah. Khusus ketika ia menanak nasi, doanya selalu tertuju kepada mendiang ayahandanya.

Sudah bertahun-tahun sejak kematian Bapak, tapi masih terngiang-ngiang bagaimana ia dan Bapak menyantap rawon campur nasi, sayur bening kelor, dan pais labu kuning yang hangat.

Kali ini, mumpung libur, ia hendak mencoba resep keluarga yang pernah Bapak ajarkan.

Mata wanita itu beralih ke sepiring penuh potongan daging sapi--kira-kira tiga ratus gram--selesai dicincang dan dibasuh bersih. Supaya teksturnya lunak, ia lengserkan potongan-potongan tersebut ke dalam panci stainless kecil berisi air mendidih. Di sebelah kanan dapur, tak lupa juga ia siapkan bawang merah, bawang putih, kemiri, jahe, lengkuas, kunyit, lada bubuk, ketumbar, daun bawang, serai, daun jeruk, garam, tauge, sambal, bawang goreng, dan tak lupa, beberapa butir buah kluwek yang sudah ia rendam dengan air hangat.

Sembari menunggu dagingnya lunak, Asiya menyiapkan semua bumbu di atas cobek batu dan menggerusnya dengan ulekan kayu. Yang pertama kali hancur adalah bawang putih dan bawah merah, lalu diikuti lengkuas, jahe, dan kemiri. Aroma rempah begitu semerbak, mengudara dan mengendap di dinding dapur, bersamaan dengan menguapnya istighfar di bibir Asiya.

Tak lama setelah itu, Asiya mengambil mangkuk plastik kecil tempat beberapa butir buah kluwung berendam. Ia menyendok buah tersebut satu per satu, menaruhnya di atas cobek, lalu kembali menggerus ramuann bumbu dengan lebih keras. Tak lupa, ia tambahkan dua batang serai.

Berkat beberapa butir buah kluwung tadi, ramuannya nyaris tampak seperti sejumput tanah gembur. 

Asiya tersenyum. Wajahnya berseri-seri, mengarah pada pintu dapur. Baru saja tadi suaminya berangkat salat subuh di surau. Mungkin Azriel dan Danyal masih terlelap. 

Wanita itu kemudian menuang sedikit minyak di atas teflon berukuran sedang, menyalakan kompor dengan api kecil, dan bersiap menumis ramuan bumbunya. Tak butuh waktu lama, semerbak harum menggelegar dari sela-sela daun jeruk dan serai. Begitu kental dan nikmat. 

Di kompor sebelah kiri, air dan daging meluap-luap. Buih-buih tersebar rata, mengingatkan Asiya pada deburan buih di sepanjang Pantai Marina. Ada foto keluarga yang diambil di sana pula, kalau Asiya tak salah mengingat. Tapi sekarang entah di mana foto itu. Asiya terlalu kecil untuk bisa mengingat. Mungkin saat ia umur lima atau enam tahun, bersama dua kakak laki-lakinya.

Asiya lantas mematikan api kompor di bawah teflon dan menuangkan semua isinya ke dalam panci berisi air dan daging. Kali ini airnya jauh lebih bergejolak, bahkan menetaskan percikan-percikan air panas. Untungnya, Asiya mengenakan sarung tangan.

Ada satu hal yang selalu Asiya tambahkan saat memasak rawon. Wanita berambut pendek itu menuangkan satu sendok makan gula ke dalam panci, bersama penyedap rasa dan daun bawang yang sudah dicincang. Bagi Ibu beranak dua itu, cita rasa masakan miliknya akan semakin kaya. Ini salah satu cara agar lidahnya bisa tetap mencicipi rasa manis.

Setelah benar-benar matang dan tercampur merata, Asiya mematikan kompor dan menuang hidangan tersebut ke dalam sebuah mangkuk keramik. Air coklat kehitaman menetes-netes, meluapkan uap panas ke plafon dapur. Tak lupa ia masukkan sejumput tauge dan bawang goreng. Diaduknya sekali lagi sampai rata. Diciumnya semerbak aroma rawon itu.

Bagaimanapun juga, Asiya merindukan rasa manis di lidah. Tapi tak apa-apa. Yang terpenting, ia masih bisa menikmati resep favorit Bapak.

Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang