Bapakmu Rentenir, Ya?

50 15 6
                                    

"Bapakmu kuwi rentenir, yo?" tanya Kancil tiba-tiba di malam bolong, tak ada petir, tak ada halilintar.

Gadis di depannya mengernyitkan dahi. "Kok sampean iso weruh, Mas?" tanyanya balik.

"Soale bapakmu wingi makelarno aku karo iblis," ujar Kancil, memasang muka tanpa ekspresi.

Tawa gadis itu meledak, persis seperti kuntilanak berkaki empat yang katanya dulu pernah hinggap di pohon-pohon sirsak pinggir sungai. Tapi, dilihat dari mana pun juga, Sinah tetap kelihatan cantik di mata Kancil. Mungkin ini memang apa yang orang-orang bilang dengan jatuh hati: saat ribuan kupu-kupu berterbangan di perut.

Sinah menampar bahu laki-laki di sampingnya dan berkata, "Asem, sing nggenah wae sampean lek ngomong!"

Kancil meringis kesakitan dan mengelak, "Yo bener toh, wong aku iblise."

Mereka berdua melepaskan tawa mereka di atas bianglala tersebut. Dari sana, seluruh pasar malam menampakkan diri dalam pandangan: kios-kios makanan cepat saji, meja dan bangku pelanggan, asap sate, uap air, pendar lampu, embusan angin malam, dan arum manis yang sudah setengah habis. Sayang sekali tak ada photobooth di perayaan tahunan sebesar ini. Adanya cuma rumah hantu di seberang jembatan helix.

Kancil lantas tersenyum melihat wajah Sinah yang murni bagai purnama tanpa awan.

Kulite sing putih bening. Rambute ireng mulus. Motone koyo batu akik. Cangkeme legi koyo kembang pir. Pantes kok akeh sing ngidamke, bisik Kancil dalam hati.

Tapi ada satu hal yang membuat laki-laki itu risih. Lama-lama lidahnya gatal sekali. Semakin lama ia ingin menggunakan tangannya sendiri untuk bertindak. Diam-diam, tanpa ia sadari, rupanya laki-laki itu hendak mencoba menggoda macan tidur. 

Kancil menghela napas dan menembakkan dua kata, "Awakmu ... kuemproh."

Sinah seketika tercengang. Mulutnya ternganga sedikit demi sedikit. Dia menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa kecil mendengar perkataan laki-laki di sampingnya.

"Heh, cangkemmu lho, Mas," ucap Sinah. Kali ini punggung Kancil yang terkena jurus sakti gadis itu. Agaknya, ia harus siap-siap banyak koyo untuk malam ini.

Tapi, tanpa Sinah sadari, Kancil punya rencana lain. Sembari meringis, ia menggeser posisi duduknya agar lebih dekat ke gadis itu. Telapak tangan kanannya perlahan naik, lalu mendarat di dekat pipi Sinah. Jari-jemari laki-laki berambut hitam legam tersebut merambat bagai rayap: pelan, tapi pasti. Ada bercak-bercak kecoklatan tipis menempel di sana.

Kancil menjelaskan, "Pas awakmu mblayu-mblayu, bleduke nuemplek kabeh sak rai-raimu." Jempolnya mengusap bercak-bercak tadi yang sudah bercampur dengan makeup.

Kali ini pipi Sinah bukannya tambah bersih, tapi makin memerah. "Beh, modus," timpalnya, menampik tangan kanan Kancil.

Namun Kancil ternyata masih belum selesai menggoreng kata-kata."Eh, tenane, raimu koyo mawar ndek kampungku," jelas laki-laki itu sambil menahan gelak tawa.

Sinah semakin mengernyitkan dahi. "Goblok, ndi onok mawar werno bleduk kuwi," ledek gadis itu tipis-tipis. Pandangannya terlempar ke arah titik-titik cahaya di kejauhan yang semakin tidak kelihatan lagi. Sebentar lagi, mereka akan mendarat. 

"Onok, kembange wayu tenan," sahut Kancil yang mengusap-usap dagunya, "tapi ora memper sih karo nggantengku."

Sinah mendesah pelan. "Ayo ndang balek wes," potong sang gadis berjaket hitam dengan garis-garis putih. Dia sudah mengambil ancang-ancang.

"Nah, mben, lek awamu teko ndek kampung, tak kei eruh rupane," imbuh Kancil. Jari-jemarinya memegang pergelangan tangan sang gadis dengan lembut.

Sinah hanya melihat ke depan, jauh di antara pohon-pohon cemara dan lalu-lalang motor. Pipinya merah merona. "Yo, lek sempet wes, Mas," pungkasnya, tersenyum simpul.

Yang tidak diketahui Kancil, malam itu adalah pertemuan terakhir mereka berdua. Sebab besok, Sinah akan berada satu setengah meter di bawah tanah.

Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang