Genjer-Genjer di Perut Kancil

33 8 3
                                    

Suatu pagi, saat sedang mencangkul lahan, Kancil didatangi sekelompok orang tak dikenal. Mereka meminta pria paruh baya itu berhenti mengolah lahannya. Tampang mereka sangar-sangar, semuanya membawa alat-alat rumah tangga. Ada yang memegang celurit, pisau, cangkul, tongkat bambu, sekop, dan garpu tanah.

"He, kau! Kenapa kok masih saja tanam ini? Ndak punya kuping, hah?" bentak salah seorang dari mereka, pandangannya menghantam muka Kancil.

Tentu saja, Kancil menarik napas dalam-dalam dan berusaha menjelaskan dengan sabar.

Ia tak mengerti maksud orang-orang ini. Sudah setahun Nusantara krisis beras akibat wabah yang merusak tanaman padi. Di mana-mana, bulir-bulir padi membusuk atau terlalu kecil karena wabah tersebut. Bahkan, bukan cuma seisi Nusantara yang mengalami hal tersebut. Ia dengar dari siaran televisi, seluruh Asia Tenggara mengalami krisis serupa.

"Mas, sudah enam bulan saya ndak bisa beli beras. Saya ndak punya duit lagi," jelasnya, berusaha menahan tangan yang gemetaran.

Pria di depannya hanya bisa tertawa, diikuti orang-orang di belakangnya. "Mau jadi sok pahlawan kamu, ya? Gara-gara kamu, usaha beras saya jadi turun pendapatannya. Mau tanggungjawab kamu? Mau ganti duit pekerja-pekerja saya?"

Kancil hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Sekujur tubuhnya berusaha mencengkeram tanah yang gembur, tetapi masih saja ada keinginan untuk kabur. Ia tak tahu apa yang salah dengan membagi-bagikan bibit tanaman di lahannya pada para tetangga. Setidaknya mereka bisa bertahan sedikit lebih lama daripada harus mati-matian membeli atau menimbun beras. 

Lantas apa yang salah dari dia menanam lahannya dengan tanaman itu? Apa dosa dari tanaman itu sampai harus disejajarkan dengan babi dan arak? Selama masih bisa dimakan, memang apa salahnya? 

Kancil berusaha menjelaskan, "Saya ndak pernah bermaksud seperti itu, Mas ..."

Pria di depannya semakin memegang kuat celurit di tangan kanannya. "Aku tanya, kau tuli opo ora? Jelas-jelas pemerintah sudah larang ini tanaman. Mau tanggung jawab kalau seisi desa digrebek sama tentara? Mau ikut-ikutan neo-komunis, hah? Atau jangan-jangan kau ini dikirim mereka?" bentaknya lebih keras. 

Kancil hanya terdiam. Membeku di tempat.

"Minggir kalau begitu. Biar aku bersihkan lahan ini," lanjut pria bercelurit itu, melangkahkan kaki ke depan.

Namun, Kancil merasa hatinya sangat berat. Lahan ini adalah hasil kerja keras ia dan istrinya, Suwarni. Sebidang tanah ini juga tempat di mana ia dan Sinah pernah memadu kasih. Di sini pula, seluruh keringat ia cucurkan untuk memastikan anak di dalam kandungan istrinya tak pernah kekurangan gizi, meskipun seluruh Nusantara dilanda krisis pangan. 

Tiap bibit tanaman ia rawat, besarkan, lalu masak seperti sedang berdoa kepada Tuhan. Tiap malam ia dengan lahap memakan tanaman itu dalam wadah anyaman bambu, bersama Surwarni. Tiap kali makan, ia dan Suwarni mengiris beberapa potong singkong dan menaburkan sejumput garam agar rasa pahitnya hilang. 

Tidak, ia merasa tidak mampu bertahan hidup jika harus menunggu singkongnya panen lagi.

Kancil menelan ludah dan melangkahkan kaki ke depan. 

"Ndak bisa, Mas. Ini lahan saya," tegasnya, berusaha membusungkan dada dan menatap mata pria bercelurit itu dalam-dalam.

Belum sampai beberapa detik, pria di depannya mencabut celurit dan menyambarkannya ke perut Kancil. 

Seketika itu, Kancil terhuyung-huyung ke belakang. Perutnya robek sangat lebar. Darah mengucur dari tengah-tengah robekan itu, lalu diikuti dengan keluarnya isi perut laki-laki itu secara perlahan. Kancil melolong kesakitan. Ia tak bisa bernapas. Paru-parunya terasa ikut dirobek. Tapi orang-orang di hadapannya tak berhenti.

Pria bercelurit itu mengangkat sepatunya dan mendorong dada Kancil. Di pematang sawah, tubuh ringkih Kancil jatuh berdebum. Lolongannya tambah menyakitkan. Seperti domba yang sudah disembelih, tetapi lehernya belum putus.

Orang-orang yang tak ia kenal itu berteriak-teriak. Mereka menudingnya sebagai neo-komunis, murtad, kafir tak bertuhan, dan sesat. Mereka melepaskan amarah dengan menendang-nendang sekujur tubuhnya. Tak terkecuali perutnya. Kancil tak bisa berbicara apa-apa. Rasa sakit yang hebat menyebabkan mulutnya tak bisa melafalkan apapun kecuali teriakan.

Semakin keras ia berteriak, semakin keras pula tendangan orang-orang itu, semakin keluar juga isi perut Kancil. Mata pria paruh baya itu hanya bisa menangkap langit pagi dengan garis-garis kuning yang menyemburat. Seseorang lalu memain-mainkan usus dan isi perut Kancil. Dia tersenyum dan berteriak, "Isi perut kau haram semua, goblok!"

Mulut Kancil semakin asin. Ludah merahnya mengalir dari sela-sela bibir. Seisi dunia semakin gelap dan dingin bagi laki-laki itu, tapi sayup-sayup, ia masih bisa mendengar suara Suwarni yang bernyanyi pada anak dalam kandungannya.

"Genjer-genjer, nong kedokan pating keleler ..."

Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang