Refleks Refluks

23 7 9
                                    

Ada bongkahan makanan dalam perutku, dan aku harus memuntahkannya secepat mungkin. Kaki dan tanganku masih tremor, tapi entah kenapa, aku masih punya ruh untuk berjalan menuju tong sampah. Kulihat Kak Danny membenamkan kepalanya ke bawah, seakan mengejan sekuat tenaga. Tak lama kemudian, aku akhirnya menyerah. Mulutku ikutan terbuka dan memaksa seluruh otot lambung untuk bekerja. 

Sekali. Dua kali. Tiga kali. 

Blergh.

Muntahan itu akhirnya keluar juga.

Air liurku merembes ke sela-sela bibir yang kering kerontang. Tanganku masih bergetar hebat, jadi kupaksa untuk stabil dengan cara menggenggam erat sisi kanan dan kiri tong sampahnya. Keringat dingin membasahi pelipis, leher, perut, dan punggung kami berdua. Ternyata mandi keringat di tempat umum memang tidak menyenangkan.

Tangan kananku masih enggan berpisah dari dinding tong sampah, tapi Will dan Kak Mindy sudah tampak dari ekor mataku.

Will menyodorkan dua lembar tisu dan sebotol air mineral ke hadapanku. Dengan sigap, tanganku meraih keduanya. Pantatku rebah di depan tong sampah, begitu pula napasku yang terengah-engah. Hidung dan ludahku ikutan menyerah juga. Minyak kayu putih. Teh hangat. Gula. Aku ingin benda-benda itu hadir di hadapanku sekarang juga. Aku tak peduli bagaimana cara mendapatkannya. Memangnya boleh anak sekecil itu berkelahi dengan wahana?

Padahal aku sendiri yang ngotot ke Kak Mindy tadi. Sekarang, hatiku merasa sangat bersalah karena sudah mengajak mereka naik roller coaster duluan. Andaikan kami  semua naik itu tadi ketika baru masuk wahana, mungkin kami sudah kalap dan enggan melanjutkan perjalanan. Aku benar-benar kapok. Tapi dalam hati kecilku, aku diam-diam merasa ketagihan.

"Terima kasih," ucapku pada Will sambil tersenyum setengah hati gara-gara masih terengah-engah.

Di pelupuk mataku, Will mengusapkan seutas tisu ke tepian bibir Kak Danny. Jantungku langsung berdegup kencang. Mataku terbelalak hebat, gigi depanku bersentuhan dengan bibir bawah. Memang ... memangnya boleh seromantis itu? 

Kugelengkan kepala dalam hati, karena aku sudah tak punya tenaga untuk menggerakkan kepala dengan otak. 

"Kita istirahat sebentar, oke?" ujar Kak Mindy, wajahnya bertaburan rasa iba pada kami semua. Kok bisa, ya, dia masih sempat-sempatnya menenangkan kami semua? Dia ini punya jimat apa memangnya? Aku jadi bertanya-tanya.

Kupaksakan untuk menggerakkan kepala ke bawah. Niatnya biar Kak Mindy tahu kami sangat membutuhkan istirahat. Kesalahan besar.

Aku merasa bongkahan-bongkahan sarapan dalam lambungku menggemuruh. Cairan kuning kehijauan itu menggelegak, dan seperti uap air panas, isinya menguap keluar. Kakiku seketika langsung meminta tubuh untuk berdiri. Kupalingkan wajahku dari Kak Mindy, lalu kembali membenamkan wajah ke mulut tong sampah. Bongkahan makanan itu akhirnya keluar lagi. 

Kata orang, ada ikatan tak kasatmata antarsaudara. Pernah lihat dua orang saudara kembar saling menyelesaikan alur ucapan atau pemikiran mereka masing-masing? Pernah dengar dua saudara saling tebak kata satu sama lain? Pernah melihat dua saudara saling sinkron untuk bergerak?

Itu yang aku dan Kak Danny sekarang lakukan. Kami sama-sama muntah untuk kedua kalinya.

Aku berusaha menghela napas, mengelap sisa-sisa muntahan yang ada di bibir dan dagu, lalu memalingkan wajah pada Kak Danny. Aku tersenyum gembira. Saking bahagianya, aku bahkan tak sadar ada beberapa tetes liur yang jatuh ke leher dan mengenai kerah baju. 

"Kak, sudah mendingan? Kakak tidak apa-apa?" tanyaku lembut, sadar kalau masih ada kupu-kupu di perutku.

Otak Kak Danny sepertinya tinggal dua sel saja. Tapi anehnya, masih bisa bekerja dengan baik.

"Iya, aku tidak apa-apa," jawabnya tegas sambil tersenyum balik kepadaku.

Saat itu, aku tahu, senyuman Kak Danny adalah satu-satunya hal yang ingin kulindungi dengan baik.

Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang