Ladang Bunga di Yerusalem

123 31 7
                                    

Pagi ini, aku dibangunkan oleh suara tangkai-tangkai bunga yang merekah dalam Kubah Shakhrah. Jumlahnya ada ratusan, bahkan ribuan. Bunga-bunga tersebut mekar di atas potongan batu gamping raksasa yang ada di depanku.

Dari barat, sinar matahari samar-samar membelai alang-alang yang baru saja menyelimuti batu fondasi tempat ini. Kupaksa kakiku menopang badan, dan hidungku mulai digelitiki aroma tipis katsuri dari tengah-tengah kubah.

"Sudah bangun, Fatah?"

Aku tersenyum dan melihat ke arah pelataran Baitul Maqdis. Seorang pria tua berbalutkan pakaian serba putih menopang seluruh tubuhnya dengan tongkat. Rasanya baru kemarin kuambilkan sepotong kayu tua dari kebun Getsemani untuk pria ini. Dia kelihatannya masih segar-bugar di usia yang sudah menginjak enam puluh tiga.

"Iya, baru tadi, Syekh," ucapku sambil menghampiri dan mencium telapak tangan Syekh Uwais.

Syimagh putih imam Baitul Maqdis itu perlahan berkibar, menyembunyikan senyum simpulnya. "Kemarilah, duduk bersamaku," ujarnya ringan.

Kupapah pria tua itu perlahan menuju salah satu dari tiga pilar di tangga Baitul Maqdis. Sepanjang jalan, ternyata bukan hanya batu fondasi Kubah Shakhrah yang ditumbuhi bebungaan. Bunga mawar, melati, lili, dafodil, dan tulip berdesak-desakan, berusaha berebut tempat untuk melihat matahari terbit.

Syekh Uwais hanya terdiam, napasnya hampir tak bisa kudengar. Beliau kubantu duduk di tangga tertinggi yang menghadap bagian barat Yerusalem. Pandangannya melayang jauh ke sela-sela Tembok Ratapan, kini ditumbuhi mawar dari ujung ke ujung.

"Perlu kubuatkan teh, Syekh?" tawarku sambil sedikit membungkuk.

Syekh Uwais menjawab lembut, "Tidak usah. Duduklah sini."

Kulangkahkan kakiku ke anak tangga yang lebih rendah dan duduk dengan khidmat di hadapan Syekh. Mataku menangkap beberapa tentara Israel yang berjaga di kompleks Baitul Maqdis. Mereka terheran-heran melihat sekeliling Baitul Maqdis berubah menjadi taman bunga. Begitu pula dengan para pendeta yang baru keluar dari Gereja Makam Kudus. Mereka mencabuti mawar-mawar di Via Dolorosa, lalu menampungnya dalam keranjang buah.

"Sudah berapa lama engkau tinggal di sini, Nak?" tanya Syekh kepadaku.

"Kurang lebih sepuluh ribu tahun, Syekh," jawabku sambil tersenyum.

Beliau bergumam sebentar, lalu berkata, "Kenapa harus di sini?"

Bibirku terkunci sejenak, berusaha mencerna kata-kata dari Syekh Uwais.

"Di sini paling dekat dengan cahaya-Nya, paling dekat dengan rumah. Setidaknya, dari sini, aku bisa mengingat dan merasakan kehadiran Kekasihku," ucapku sembari menundukkan kepala.

"Engkau merindukan-Nya?" tanya Syekh, matanya bergelimang sinar matahari.

Aku mengangguk pelan.

Tanganku mengusap batu-batu purba yang ada di tangga. Ada getaran-getaran halus yang merambat: suara batang, sulur, dan ranting dari kedalaman tanah. Sepertinya bunga-bunga ini tidak hanya mekar di seluruh Yerusalem, tapi di seluruh permukaan bumi secara bersamaan.

Di bawah tangga, ada seorang tentara yang membuka gawainya dan menonton siaran langsung dari televisi. Aku dan Syekh mendengarkan dengan saksama. Katanya, bunga-bunga liar telah muncul di mana-mana. Mulai dari Gurun Sahara sampai Kutub Utara. Bunga-bunga mendesak aspal jalan, merambati gedung pencakar langit, melilit pagar kantor-kantor, dan menghiasi lahan-lahan yang sudah lama dikeruk. Tak ada satu pun tempat yang tak dihinggapi bebungaan. Padahal sekarang belum musim semi.

"Engkau sudah tak lagi takut?" tanya Syekh lagi, jari-jemarinya memegang erat seuntai tasbih.

"Akan apa, Syekh?" tanyaku agak bingung.

"Kematian."

Aku hanya bisa tersenyum dan menghela napas dalam-dalam. Diam-diam, kulempar pandanganku pada sang tentara yang sekarang tampak gelisah dan kebingungan mencerna berita dari gawai. Dia mengeluarkan sebuah foto usang dan menatapnya dalam-dalam. Samar-samar aku bisa menerka, dalam foto itu, sang tentara telah berfoto bersama keluarganya.

"Tidak, Syekh. Aku sudah pernah merasakan yang lebih buruk daripada itu," jawabku lembut.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, Syekh Uwais tertawa kecil sampai gigi gingsulnya kelihatan.

Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang