Anatomi Suatu Kepergian

31 11 11
                                    

Sewaktu Ibu mengembuskan napas terakhir, Azriel masih tertidur pulas di kamar sebelah. Seluruh tenaga dalam tubuhnya terasa dihisap usai semalaman mengepel lantai kamar, membersihkan sisa-sisa air seni kuning kecoklatan, dan mengganti seprei kasur. Dia baru terbangun begitu adiknya masuk ke dalam kamar, menyalakan lampu, duduk di samping kamar, dan menggoyang-goyang pundak Azriel.

"Mas, bangun. Ibu sudah ndak ada."

Perlu beberapa detik untuk mencerna empat kata itu. Jantungnya berdegup kencang. Kedua kelopak matanya seketika terdobrak lebar. Pandangannya menghantam wajah adiknya.

"Hah? Opo maksudmu?" tanya Azriel, ludahnya di pangkal kerongkongan.

Laki-laki itu tahu, dan dia sudah punya firasat sejak beberapa bulan lalu. Ibu takkan tinggal lebih lama lagi. Tapi tetap saja, hatinya remuk redam.

Azriel bangkit dan duduk di kasur. Lantainya dingin. Dia menatap balik adiknya, Danyal. Pipinya masih basah, dadanya kembang-kempis, dan jari-jemarinya sedikit gemetaran. Di luar, Bapak masih mengeluarkan bak mandi. Setelah ini, Bapak mungkin juga sedang ke surau untuk mengabari takmir dan muazin. 

Pria itu sudah janji kepada Ibunya agar tidak menangisi kepergiannya. Setidaknya jangan sekarang.

Perlahan, Azriel merengkuh pundak Danyal dengan tangan kanannya. Dia peluk bocah itu selembut mungkin. Tubuh Danyal yang semula tegang, perlahan-lahan menjadi lebih rileks. Azriel bisa merasakan air mata adiknya yang menyusup ke sela-sela lehernya, turun dan bersemayam dalam kerah kausnya. Danyal tersedu-sedu dalam sunyi, dan Azriel tak bisa merasakan apapun kecuali rasa kebas. 

Mereka berdua sama-sama meratap dalam diam.

Tak lama kemudian, Azriel berpesan sembari mengusapkan jempolnya pada pipi Danyal, "Awakmu jogo omah. Tulungi Bapak. Aku ape metu sek ndek dokter."

Danyal hanya bisa mengangguk lemah selagi Azriel melepaskan pelukannya. Pria itu menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan menuju kamar Ibu. Langkahnya sedikit gontai, persis seperti binatang buruan yang tertembak peluru bius. Matanya merah menyala. Lampu di kamar Ibu terasa berpendar seratus kali lebih terang daripada sebelumnya. 

Dengan hati-hati, Azriel menyelimuti seluruh ruangan dengan pandangannya. Dia melihat Ibu di sana, terbujur kaku, wajahnya secerah purnama. Ibu masih memakai piama yang dia belikan lima tahun lalu. Kepala Ibu membelakangi jendela kamar yang terbuka lebar, membiarkan bilah-bilah cahaya kebiruan membasuh muka wanita paruh baya tersebut. Azriel tersenyum pahit. Ibu seperti sedang bermimpi di antara tumpukan awan dan kapas.

Sebelum berangkat, dia memegang tangan Ibunya dan menciumnya perlahan. Kulit beliau terasa dingin sekali. Bulu kuduk Azriel meremang. Ini gelar terakhir yang disandang Ibu. Ibu sudah resmi menjadi almarhumah.

Tak mudah meninggal di dunia manusia. Terlebih lagi, di zaman sekarang. Azriel harus segera bergegas. Dia butuh surat kematian.

Pria itu merogoh dompet Ibunya, lalu mengeluarkan kartu BPJS kesehatan golongan pertama. Wajah Ibu masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Tapi, sekali lagi, dia hanyalah seorang laki-laki. Dia adalah anak pertama. Dia juga kakak bagi adiknya. Waktu untuk berduka sama sekali bukan kemewahan yang bisa ia beli dengan uang.

Azriel mesti mengurus kepesertaan BPJS mendiang ibunya, mengisi form, dan melampirkan surat kematian sampai status kepesertaannya non-aktif. Setidaknya ia tak perlu lagi menyembelih isi dompet untuk menambal tagihan-tagihan lama.

"Inalillahi. Ibu gerah nopo, to, Mas?" ucap Nasya, seorang wanita berjilbab biru muda yang bekerja menjadi asisten dokter BPJS. Air mukanya langsung keruh.

Azriel hanya bisa tersenyum pahit, tak punya tenaga lagi untuk menatap. "Diabetes, Mbak."

Mulut Nasya membulat, kepalanya sedikit tertunduk. "Ya Allah, Mas, minggu wingi sektas solat maghrib bareng, PKK bareng. Mugo-mugo wae, Ibukmu, nang kono ora kakehan pikiran, yo?"

"Amin," ucap Azriel singkat selagi memberikannya jalan untuk masuk ke rumah. 

Kaki Azriel masih terasa gontai. Masih banyak yang mesti dia urus.

Azriel mencoba menguliti satu-satu pemandangan di halaman rumah: drum-drum air, bendera hijau, kursi plastik, bak mandi, kain penutup, dus air kemasan, bak mandi, toples, gerobak kecil, kapas, dan kembang. Nyaris dua puluh tahun berlalu, dan sayap-sayap hitam akhirnya datang mengetuk pintu rumah ini dalam wujud suara muazin dari masjid di belakang rumah:

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Telah meninggal dunia, Asiya binti Musakhim, istri dari Bapak Jiwan Haris Kurniawan.

Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang