Di Bawah Sumur Arwah

16 6 1
                                    

Fatah baru saja meninggalkan Imam Uwais sendirian di salah satu tangga kompleks Kubah Shakhrah. Pria tua itu memandang jauh ke Tembok Ratapan sambil memetik beberapa bunga mawar putih yang menyembul dari sela-sela ubin lantai. Wajahnya berseri-seri, seakan-akan hari ini adalah Idulfitri. Namun, Fatah tetap saja merasa gelisah dalam tenang. 

Sudah hampir sepuluh ribu tahun ia menapakkan kaki di muka bumi, berusaha menjadi manusia sepenuhnya dan seutuhnya. Laki-laki itu tak pernah mengira makhluk-makhluk yang ada di atas langit pertama akan datang ke dunia dalam bentuk hujan meteor. 

Semalam, langit Yerusalem sempat gemerlap dengan ratusan bilah-bilah pedang bercahaya, melintas di angkasa dan berguguran bagai daun cemara. Fatah sempat berpikir IDF dan Hamas sedang mempertontonkan misil-misil atau produk suar terbaru mereka. Tapi laki-laki itu hanya bisa tersenyum menyaksikan langit dicat semerah mawar muda. Persis macam kilapan minyak.

Suara dentuman yang terpendam dan teredam bertalu-talu dari kejauhan. Semestinya ada shockwave, pasir, dan kerikil. Ya, belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya di Gaza, dia sering menyempatkan waktu untuk menulis beberapa gurat syair tiap harinya. Untuk menulis dan menembangkan syair-syair itu di antara para pengungsi, ia membutuhkan kicauan burung bulbul, tawa bayi, hentakan dabke, aroma taboon hangat, dan secangkir jus delima. Begitu kira-kira resep lengkapnya. Demi memenuhi resep itu, ia mesti membaur dan berlindung di antara puing-puing rumah. Sebab, resep itu hanya bisa terpenuhi apabila tak ada pesawat tempur yang berlalu-lalang.

Namun, Fatah merasa bumi semalam tengah membuka lebar-lebar rongga jantungnya, lalu menelan meteor-meteor tersebut dengan sukarela. Tak ada perlawanan sedikitpun dari bumi.

Fatah bernapas lega. Setidaknya, sebentar lagi pengasingannya akan berakhir. Sepuluh ribu tahun adalah waktu yang sangat sedikit bagi makhluk seperti dirinya, tapi sangat singkat bagi seorang pecinta sejati. Ia begitu haus akan cahaya. 

Laki-laki tegar itu menoleh ke kanan, lalu ke kiri. Kompleks Kuil Sulaiman sudah menjadi taman bunga. Ke manapun ia berpaling, selalu ada sepucuk bunga yang menyapa dan menyampaikan salam. Seolah-olah kutub bumi sudah berpindah, dan kini seluruh Sahara dan Jazirah Arab menjelma hutan tropis.

Fatah masuk kembali ke dalam Kubah Shakhrah lewat arah tenggara. Mata hitamnya menerawang bilah-bilah cahaya yang merangsek masuk lewat kaca, fresko, dan pintu. Tak sia-sia ia sudah membantu Imam Uwais mengepel, mencuci, dan membersihkan karpet-karpet panjang di dekat batu raksasa. Lembut dan beraroma kesturi. Ia terus berjalan melewati orang-orang yang berdatangan ke dalam kubah.

Kepala Fatah menengadah ke atas gerbang Sumur Arwah. Ia poles lagi inskripsi di batu marmer tersebut. Terukir dalam kaligrafi emas, adalah nama Mahacinta. Di bawah nama itu, sebuah ornamen floral keemasan menjuntai. Ada pohon kehidupan, dan dua sayap pakis beserta buah-buahan aneh yang Fatah saja tak tahu namanya sampai sekarang.

Derap langkahnya semakin mendekat ke area bawah tanah. 

Mihrab Daud dan Sulaiman masih sepi dari keberadaan manusia. Kecuali dirinya dan seekor binatang yang sedang terduduk dengan empat kaki.

Binatang itu menghadap ke arah tenggara. Kepalanya mirip kepalabanteng, matanya seperti mata babi, bertelinga bagai gajah, punya dua tanduk rusa,berdada kekar bak harimau, warnanya wama harimau, kukunya kuku sapi betina, ekornya macam ekor domba dan telapaknya telapak unta. Sisiknya lembut dan berkilauan. Fatah tersenyum dan mengucapkan salam.

Ia sudah menanti lama untuk hari ini.

Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang