Othalanga

8 4 0
                                    

Yang tidak diketahui Kancil, malam itu adalah pertemuan terakhir mereka berdua, sebab besok, Sinah akan berada satu setengah meter di bawah tanah.

Sebenarnya, tak ada seorang pun yang tahu. Tidak dirinya, Sinah, orang tuanya, apalagi kerabatnya. Kecuali Tuhan dan orang-orang yang bergerak di tengah gelapnya malam. Sampai sekarang, Kancil menggiggit bibir tiap kali memikirkan tentang kepergian Sinah. Ada hal-hal janggal, tak masuk akal, dan di luar nalar yang membuat hatinya diiris-iris tanpa henti.

Setahu laki-laki itu, Sinah tak pernah punya riwayat penyakit serius yang bisa kambuh kembali. Ya, paling hanya tipes saat dia kelelahan. Kancil juga pernah sekali dua kali mengalaminya, dan sampai sekarang sudah tak terulang lagi. Sinah sering ia ingatkan tiap kali dia tak makan tiga kali sehari, sampai-sampai ia selalu membawa sepotong roti untuk gadis itu tiap kali mereka bepergian.

Kancil mereguk ludahnya, memandang rembulan yang semakin lama semakin meninggi di atas rumah. Tanpa sadar, air matanya meleleh dan turun ke pipi. Cepat-cepat ia usap. Ia tak mau kelihatan lemah di hadapan orang banyak. Lagipula, sudah sebulan Sinah meninggalkan dia. Sinah mungkin tak mau dia terus-terusan menangisi kepergiannya.

Laki-laki tersebut ingat benar bagaimana ia berpisah dengan Sinah pada malam itu. Mereka baru saja turun dari bianglala, dengan jantung berdegup kencang, semua pembuluh darah bagai terisi adrenalin, dan mereka saling tertawa. Pasar malam minggu masih terpatri dalam ingatan Kancil. Lampu-lampu neon, aroma sosis dan bakso, asap yang mengebul dari panci-panci, bangku taman, kapal-kapal slerek, flash kamera, petikan gitar, sampai bunyi peluit tukang parkir, masih ia simpan baik-baik dalam kubus ingatan terdalamnya.

Ia putar lagi memorinya. Laki-laki itu mengingat jalan yang ia tempuh saat mengantarkan Sinah kembali ke indekos. Ia telusuri satu per satu, apakah ada di antara jalan ini yang pernah menyimpan dendam pada Sinah. Tapi tetap saja, semua jalan yang ia tempuh tak mencapai Roma. Tak ada firasat, petanda, atau kejadian aneh. Hanya rutinitas malam minggu. 

Kancil menggaruk kepala dengan tangan kirinya. Ia pejamkan mata. Waktu itu, jalan raya yang ia lewati dan daerah sekitar indekos SInah ditumbuhi pohon trembesi, tabebuya, dan bintaro. Hujan sudah beberapa hari tidak turun. Cuaca juga tetap panas meskipun angin berembus dari satu pesisir ke pesisir lain. Mungkin karena banyak mendungnya juga.

Laki-laki itu menghela napas. Ia tak mau berpikir berat lagi. Rasanya sudah capek kehilangan satu orang. Sebagai seorang laki-laki, seluruh raga dan jiwa Sinah harus ia tanggung dan pikul di pundaknya, hidup atau tidak hidup. Meskipun kedua orang tua Sinah tak pernah menuduh macam-macam, tetap saja Kancil merasa berdosa.

Ia merasa harga dirinya jatuh. Bukan, bukan jatuh lagi, melainkan pecah berkeping-keping. Sekarang ia masih harus menahan diri untuk memukul orang-orang yang mengatakan bahwa dialah yang membunuh Sinah. Bahwa dialah yang tak becus melindungi Sinah. Seakan-akan seluruh dunia ingin ia ikut bertamasya ke akhirat menyusul Sinah.

Tapi ia tak bisa. Masih ada banyak janjji yang harus ia tunaikan. Apalagi, ia sudah berjanji kepada Sinah untuk sedikit menaikkan berat badan. Mengingat hal itu, Kancil jadi tertawa pahit.

Senyuman Kancil perlahan pudar ketika ia teringat sesuatu. Ia buka layar gawainya, kemudian ia mengetikkan sesuatu di mesin pencarian. Degup jantungnya jadi semakin kencang saat ia mengingat deretan pohon di depan, samping kiri, dan samping kanan indekos Sinah.

Ada puluhan pohon bintaro berjejer di sana.

Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang