Sejengkal Tanah Bernama Rumah

9 6 0
                                    

Lintang terbangun ditemani dengan teriakannya sendiri. Dinding mobil yang kusam dan dingin meredam suaranya, memantulkan rasa sakit laki-laki itu di antara lalu-lalang kendaraan di belakang punggungnya.

Lintang dengan rakus mereguk urdara—basah kuyup—berguling di atas kursi mobil, hingga gemerlap cahaya matahari di Rest Area menemukan dirinya lewat kaca mobil. Bahkan saat itu, ia tetap tak bisa berhenti bernapas sekuat tenaga.

Saat Lintang berhenti untuk bernafas, ia menyadari bahwa cahaya lentera di Rest Area telah lenyap. Buku-buku dan kursi dalam mimpi telah menghilang. Laki-laki itu tersadar bahwa kini ia berada di tengah hutan, dikelilingi oleh tubuh-tubuh pohon yang menjulang tinggi. Dan ia juga masih pulang kampung. Belum menemui Ibu dan Azima.

"Nnnngh!" Lintang meremas kepalanya dan menggeretakkan gigi, mendorong mukanya sendiri ke dalam telapak tangan yang berkeringat. Kakinya seperti tentakel gurita yang mati rasa; ia berjuang mencari pijakan. Begitu Lintang mulai menegakkan tubuh, kepalanya seperti dikelilingi bintang-bintang.

Yang ia tangkap di belakang mobil hanyalah lautan pohon tak berujung, semua bersinar dalam cahaya bulan pucat seperti tulang paha yang ditanam di tanah: sama-sama steril dan tanpa kehidupan.

Udara yang Lintang hirup menjadi pahit. Rasanya seperti mimpi buruk pertama seorang bayi. Laki-laki itu jatuh kembali ke ingatan kelam yang sudah lama ia kubur rapat-rapat.

Masuk ke dalam kegelapan yang lebih hitam dari hitam itu sendiri, berenang, melewati rantai-rantai, melewati tali tambang yang terbentang seperti tulang sayap dari ufuk ke ufuk, tenggelam, bersinar dengan kilauan pucat cahaya bulan yang tak berujung.

Di sana, tersembunyi di balik semua bayang-bayang, dia akhirnya menemukan suaranya, dan suaranya penuh dengan air mata.

Sekujur tubuh laki-laki itu menggigil. Matanya terpejam. Sekali lagi, kegelapan yang menaungi indekosnya sore kemarin terasa begitu akrab, tempat kelahiran lagu-lagu yang membuatnya naik daun. Ia hampir tak bisa mengenali dirinya sendiri.

Jika ia memiliki kemampuan untuk memutar waktu, ia tidak tahu apakah dia masih ingin mengejar mimpi-mimpinya. Lintang bertanya-tanya, dalam setahun lebih perjuangan dan percobaan, apakah hal-hal yang dia dapatkan melebihi hal-hal yang dia lepaskan, atau malah ada sesuatu yang hilang sebelumnya?

Sama seperti kata-kata yang meluncur, tanpa kehati-hatian, dari bibirnya yang gemetar kemarin.
Lintang menghela napas sedalam-dalamnya, lalu membiarkan jari kanannya mengusap air yang baru saja meleleh dari matanya.

Tangan kirinya merogoh laci di sebelah kiri dashboard mobil. Ia hampir saja kembali hancur berkeping-keping melihat sepotong foto di dalamnya. Laki-laki itu mengatur napas kembali, menarik beberapa helai tisu dan menyeka seluruh wajah yang lembap. Apapun yang ia lakukan, ia takkan pernah bisa membangkitkan orang mati.

Tapi, Lintang enggan mati muda. Banyak orang yang mati di umur dua puluhan, tetapi baru dimakamkan di umur enam puluhan. Bagaimana pun juga, ia tak pernah mau membayangkan hal itu.

Perlahan, Lintang menyalakan mesin mobilnya. Wajah muramnya perlahan memudar di tengah gerimis abu-abu saat lalu-lalang kendaraan makin ramai di belakang. Semilir angin dari jendela mobil turut membawa tangisnya pergi.

Rasanya, Maut sudah merenggut segalanya kecuali napas laki-laki itu, lalu menghilang perlahan ke dalam kabut dingin seperti awan-awan kemarin.

Ia duduk di belakang setir, terselimuti angin dingin, berusaha memahami hidup yang dihabiskannya di ujung mimpi-mimpi yang hancur.

Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang