Pascamanusia

15 7 0
                                    

Sarahwulan menatap was-was ke deretan gedung dan apartemen yang ditinggalkan. Langkah kaki kecilnya amat berhati-hati. Jalan-jalan begitu sunyi pagi ini. Kalau menurut kalender yang dipajang Paman Danyal di bungker, hari ini sudah setahun setelah Hari Pembebasan. Sudah dua belas bulan semenjak para binatang mengklaim bumi kembali. Dunia terasa jauh lebih sepi daripada sebelumnya. Tapi, justru hal itu yang membuat Wulan semakin waspada.

Setahun lalu, ratusan bahkan ribuan binatang melakukan eksodus besar-besaran dari wilayah Jawa Barat menuju Jawa Timur. Mereka menghancurkan kaca-kaca jendela, merobohkan pagar kebun binatang, merangsek masuk dalam halaman rumah, dan bersikap agresif ke semua manusia yang menghalangi jalan. Korban berjatuhan satu per satu. Masyarakat diterkam awan paranoia, sementara pemerintah tak berani mengebom kota per kota karena masyarakat masih berada dalam lockdown ketat.

Wulan masih mengingat, pandemi mematikan itu masih belum berakhir. Dunia sudah terlebih dahulu dijajah oleh binatang buas sebelum para ilmuwan bisa memproduksi vaksin. Mungkin sekarang mereka sedang mengembangkannya secara rahasia di suatu laboratorium. 

Tapi ada yang menarik dari eksodus para binatang tersebut.

Pola perjalanan dan tujuan akhir mereka nyaris sama. Mereka seperti hendak berpulang ke daerah Banyuwangi bagian selatan, tepatnya di Rimbapurba. Konon, kata Paman Danyal, hutan itu adalah satu-satunya hutan di Pulau Jawadwipa yang tak pernah terjamah oleh gerigi gergaji, rahang buldoser, atau bom-bom dari angkatan udara. 

Hari ini, Wulan ingin menyaksikan sendiri migrasi tersebut dari kejauhan.

Ia berjalan keluar dari bungker sehabis subuh, diam-diam sekali agar tak ketahuan Paman Danyal. Bisa ribut dan berabe nantinya. Ia tak mau kena omel lagi untuk kesekian kali.

Mata Wulan berkedip-kedip ke arah timur, menyaksikan debur ombak yang memisahkan dua pulau. Langit jauh lebih cerah daripada tahun-tahun yang lalu. Moncong hidung anak itu menengadah ke arah barisan kelapa yang tumbuh subur di sela-sela villa dan apartemen tak terawat. Di bawahnya, sekelompok ketam kenari tengah menghantamkan capitnya, mengkoyak-oyak sabut kelapa. Mereka tampak tak peduli dengan siapapun yang datang.

Tuhan. Laut-Mu bercahaya, puji gadis kecil itu dalam hati.

Mulutnya sedikit ternganga saat deretan villa, apartemen, dan bangunan di sisi sebelah timur tak lagi menutupi pandangannya. Aroma garam dan es menyusup masuk ke sela-sela hidung gadis cilik itu. Cahaya matahari dari balik awan, membelah pepohonan kelapa, terpantul di laut bagai pecahan-pecahan kaca dan kristal yang berkilauan.

Wulan sempat melambatkan langkah begitu ia menyapu jalan di depan. Ada kelokan kecil, kemudian tanjakan. Laut di sebelah kiri, dan pepohonan kering di sebelah kanan. Mata kuning kecoklatan rusa jantan itu menyapu rangka-rangka baliho, papan reklame, tiang-tiang listrik, pilar-pilar berukuran kecil yang tertancap di sepanjang jalan, dan sepotong dinding.

Selamat datang di Wongsorejo, bacanya dalam hati.

Daun telinga Wulan tiba-tiba berdiri. Ia bisa menangkap derap langkah kaki dari kejauhan. Bulu kuduknya langsung meremang. Gadis itu langsung teringat pada perkataan Paman Danyal.

Wulan enggan diam. Ia bergerak, membelah semak belukar kering dan naik ke atas tebing. Di sana, patung penari gandrung masih berdiri kokoh, siap menyambut semua pendatang. Kini, gadis itu tak begitu suka akan pendatang. Ia sembunyikan tubuhnya di balik semak-semak.

Jangan-jangan itu harimau, batin Wulan.

Derap langkah kaki itu semakin dekat, sampai akhirnya jatuh tepat di depan patung penari gandrung. Ia bahkan tak berani menjulurkan kepala dan pandangan sedikitpun, takut diintai binatang buas.

Mulanya gadis itu bahagia karena apapun makhluk yang berkeliaran di bawah tebing sudah berangsur-angsur pindah ke arah selatan. Namun, sesaat kemudian, derap langkah kaki itu menambah ketukan. Ketukannya semakin lama semakin cepat. Jelas kalau makhluk itu hendak kembali ke arah utara. Ke arah tebing.

Wulan berlari ke arah reruntuhan apartemen. Roknya berkibar-kibar terkena angin. Ludahnya ada di ujung kerongkongan. Kepalanya agak pusing setelah berlari cukup kencang. Ia dengan rakus mengambil napas, memasukkan seluruh puing-puing dalam pandangan mata, berdoa agar tak tertangkap para binatang.

Di sisi lain apartemen tersebut, seekor rusa jantan berbulu putih tak sengaja mengintainya.

Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang