Pertemuan Agung

16 6 0
                                    

Azriel memulai perjalanannya dengan menghitung mundur. Matanya terpejam, tangannya mendekap dada, dan kembang-kempis napasnya mulai teratur. Bantal di bawah terasa sangat empuk. Ia memang sengaja tak tidur dari pagi sampai tengah malam. Sekarang, dia benar-benar kelelahan. 

Satu, dua, tiga, empat, lima ...

Laki-laki itu berhitung dalam kalbu, penuh sunyi, tak ada siapapun yang menganggu. Ibu dan Bapak sudah tidur. Adiknya juga sudah tepar usai seharian bersekolah. Hanya ada sayup-sayup suara kendaraan hilir-mudik, detak jarum jam, dan cicitan jangkrik di luar jendela kamar. Tak ada kipas angin di kamar, dan ia memang tak memerlukannya pula. Ya, meskipun sudah berulang kali dia melakukan ini dan setengah tubuhnya mandi keringat.

Sejak lahir kembali sebagai manusia, ia kadang punya pemikiran yang agak nyeleneh. Ia berharap dunia ini akan cepat berakhir. Bukan karena ia ingin manusia cepat musnah, tapi karena ia begitu rindu bertemu lagi dengan kekasihnya. Hanya di alam mimpi, saat ia terayan-rayan, laki-laki itu bisa bebas. Ibarat seekor ikan yang lepas dari ikatan air, ikan itu akan bertanya tentang keberadaan air. Namun saat ikan itu terjun kembali ke dalam air, dia bahkan tidak sadar bahwa di sekelilingnya ada air juga.

Azriel sadar bahwa memainkan peran sebagai manusia sangatlah sulit. Hampir semua manusia sama saja seperti ikan-ikan tersebut. Tak sadar bahwa suatu saat, mereka akan menggelepar di tepi pantai atau sungai tanpa air. Kadang Azriel juga tertawa pahit mendengarkan lagu-lagu yang dibuat manusia. Contoh saja, Alamat Palsu-nya Ayu Ting Ting.

Sebagai orang yang pernah hidup di Batavia, Azriel tau benar maksud lagu itu. Tapi kali ini ia memilih untuk memaknainya dengan jalan lain. Bahwa mungkin begitulah manusia memandang sang kekasih. Mungkin kalau Mahacinta menghapus ingatan laki-laki itu, ia bakal berpikiran seperti itu juga. Bahwa dia mencari dari hulu ke hilir, tanpa sekalipun tahu bahwa alamat sebenarnya justru lebih dekat dari nadi.

Seperti rumput alang-alang di kaki Rumi yang bertanya, "Ke mana? Di mana? Kuharus mencari ke mana?"

Azriel menghela napas dalam-dalam dan membiarkan sekujur tubuhnya menjadi semakin kaku. Laki-laki itu berusaha keras menahan gerakan. Dinding-dinding tak kasatmata di sekelilingnya lambat laun luntur, dan tubuh Azriel perlahan mendingin.

Pandangan laki-laki itu mulai melebar, memanjang, dan mengangkasa. Ada percikan-percikan kebiruan di ujung mata, bercampur dengan remah-remah cahaya yang jatuh dari langit. Azriel menengadah. Ia melihat sesosok pria lain yang berjalan di atasnya. Tiap tapak kakinya adalah berkas sinar sehijau daun zaitun. 

Azriel berusaha mengejar orang itu dari bawah. Kedua matanya terkunci pada sosok tersebut, dan ia tak sudi melepasnya, seakan-akan sosok itu adalah layang-layang dan pandangannya adalah benang tipis. 

Tanpa memperhatikan sekeliling, ia tiba-tiba jatuh terjerembab di antara bintang-bintang. 

Azriel menengadahkan kepala sekali lagi, berusaha keras menggapai sosok itu. Tapi pandangannya hanya putih belaka. Laki-laki itu baru sadar, sosok pria tadi sudah hinggap tepat di hadapannya. Pakaiannya serba putih. Kulitnya juga cemerlang. Senyumnya berseri-seri. Pria itu mengulurkan tangan, dan Azriel menggapainya.

Belakangan Azriel mengetahui, nama pria itu adalah Uwais.

Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang