Yang Hanyut di Desa Lampon

21 9 0
                                    

Asiya menjerit-jerit, kedua tangan dan kaki kurusnya berpegangan erat di pokok pohon kelapa, berusaha menghindari deburan ombak dan puing-puing di bawah. Ia tak bisa lagi melihat warna air di bawah lututnya. Hidung gadis berumur dua puluh tahun itu hanya mencium bau minyak tanah, solar, dan garam. Semuanya bercampur lebur jadi satu.

Pikirannya kalut. Ia tak mau mati muda. Ia masih ingin bertemu keluarganya. Ia ingin terlelap dalam buaian Desa Lampon.

Gadis itu mengingat-ingat sekilas. Saat itu, jarum panjang menunjuk angka dua di jam dinding dapur. Ditambah lagi, hari ini Jumat Pon di kalender besar.

Atap rumahnya seperti dihujani batu berkali-kali saat ia selesai wudhu untuk persiapan tahajud. Gemuruh berlomba-lomba menempeleng gendang telinganya--seolah-olah ada yang tengah mengemudikan helikopter marinir di depan rumah. Padahal ini masih sepertiga malam. Tak mungkin ada marinir yang berlatih dini hari. Bapak juga masih melaut di luar sana. 

Asiya kemudian membuka pintu rumah.

Genangan air keruh, mengalir dari utara hingga selatan, membuat insting gadis itu meradang. Ada sesuatu yang aneh. Baunya asin dan khas laut. Samar-samar seperti banjir. Tapi bukannya sekarang masih musim panas? 

Asiya mencelupkan tangan kanan ke genangan air, lalu menjilat jari telunjuk. Jantungnya semakin berdebar keras.

Segera saja ia berlari ke kamar Ibu.

"Bu, Buk'ee, tangi, Bu," pinta Asiya, nada suaranya meninggi.

Rukmini mengerjapkan mata berkali-kali. "Opo toh, nduk?" gerutu wanita paruh baya di hadapan Asiya. 

Tampaknya wanita paruh baya itu masih lelah usai menjual ikan hasil tangkapan suaminya dari pagi sampai siang. Belum lagi menyiapkan makanan buat keluarga kecil mereka tiga kali sehari.

Asiya makin memelas, "Bu, banjir, Bu. Ndek njobo banjir!"

Rukmini langsung terduduk saat itu juga. Keringat dingin mengucur dari dahinya. Tatapan serius dia lemparkan kepada anak semata wayangnya. Rupanya Asiya tak berbohong.

Asiya yang tak sabar lalu menggaet tangan ibunya. Wanita paruh baya itu tertatih-tatih. Nyaris seperti orang linglung setelah minum arak tiga gelas sekaligus. Dia berusaha mengumpulkan kesadaran yang tercecer-cecer sembari menggerutu. Napas Asiya semakin menderu.

Begitu Asiya memboyong Rukmini ke halaman rumah, barulah Rukmini sadar kalau ada sesuatu yang janggal. Air sudah naik hingga mata kaki. Warnanya coklat tua, hampir kehitaman. Mungkin sudah bercampur dengan pasir. Sandal-sandal mereka sudah mengapung.

Di luar, suara hujan semakin mengangkasa. Embusan angin menampar wajah mereka berdua. Seakan-akan, hujan kini tak lagi turun dari langit, tapi dari Pantai Selatan.

Sekujur bulu kuduk Rukmini meremang. Kini, gantian dia yang menggeret tangan anaknya. Wanita itu mengayuh kaki dan mengambil langkah-langkah panjang. Dia merasa laut sedang bergejolak di selatan. Tubuhnya enggan membeku jadi akar rumput. Dia harus lari. Ya, lari, entah kemana. Pokoknya tidak ke arah selatan. 

Tak sampai seratus langkah dari rumah, air bah sudah duluan menerjang mereka berdua.

Asiya tak bisa berenang. Itu hal pertama yang ia sadari. 

Kedua kakinya menginjak-injak air, tangannya berusaha mencengkeram ombak. Ia megap-megap, merasakan punggung dan perut bergesekan dengan benda-benda tumpul. Ada kaki, tangan, dan jari-jemari di bawah gulungan air. 

Hal kedua yang Asiya sadari, Ibu sudah tak terlihat lagi. 

"Bu! Buk'eee! Ya Allah! Allah!" lolong Asiya berkali-kali.

Napas Asiya tersengal-sengal. Kepalanya yang menempel di pokok kelapa ia tengadahkan ke langit malam tanpa rembulan dan bintang. Dengan rakus, dihisapnya sisa-sisa oksigen di udara. Air di sekeliling gadis berbaju biru muda itu meluap-luap, persis seperti percikan api. Sedikit lagi, mungkin sehasta lagi, ubun-ubunnya mungkin sudah bersalaman dengan ujung nyiur kepala.

Asiya hendak menjerit lagi, tapi air bah membungkam mulutnya. Ia tersedak-sedak, berusaha memuntahkan rasa pahit dan asin di lidah. Semua barang meluncur di sisi kanan dan kiri gadis itu. Rangka kasur, patahan pilar rumah, serpihan genteng, setengah badan sepeda motor, potongan-potongan kayu, pecahan botol arak, pelinting ganja, tongkat besi, tali tambang, dan kaki-tangan manusia. Deras sekali.

Tak cukup sampai di situ, punggungnya tergores benda tajam.

Asiya ingin muntah. Ia ingin berak. Kepalanya pusing. Ia sudah tak bisa menahan lagi.

Bongkahan nasi encer berwarna kekuningan yang sudah tergerus setengahnya oleh asam lambung ia muncratkan ke pokok pohon kelapa. Liur menetes dari sela-sela bibir, berebut tempat dengan air mata. Bongkahan-bongkahan tadi langsung hanyut bersama cipratan pasir dan busa air payau, bersamaan dengan hantaman air berikutnya.

Kepala Asiya seketika berada di bawah air. Kedua mata coklatnya tertutup rapat. Napasnya tertahan di dada, sekujur tubuh mengejang, menggelepar bagai ikan hidup di wajan penggorengan. Tenggorokan gadis itu serasa dicekik. 

Dalam hati kecilnya, Asiya berteriak ke siapa saja: Tuhan, Ibu, Bapak, tetangganya, imam masjid, kawan-kawannya. Namun, jawaban yang ia terima hanya gemuruh dan debur ombak, diselingi lolongan-lolongan kesakitan dari orang-orang yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

Begitu gelombang ketiga surut, Asiya tak bisa melihat ke mana Ibu dibawa lautan. Tidak ada lagi teriakan atau lolongan. Yang ada hanya suara aliran air dan embusan angin. Asiya berusaha keras menahan jerit pilu.

Dari atas pohon kelapa, Desa Lampon sudah rata dengan tanah.

Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang