Aufkwarung

76 18 13
                                    

Setelah tiga hari berkeliling di Desa Kemiren, Azriel akhirnya menemukan warung jajanan yang sering dikunjungi oleh mendiang ibunya.

Warung itu berdiri tegak di belakang gerbang desa yang menjulang tinggi di antara pepohonan trembesi. Diapit jurang penuh semak liar di sebelah kiri dan jalan raya padat kendaraan di sebelah kiri. Bukan cuma trembesi, sebenarnya. Ada rumpun bambu, pohon-pohon palem, kelapa, dan mangga. 

Gerobak jualannya pun begitu sederhana. Ada dua pasang bangku dan kursi. Satu menghadap ke timur, satunya lagi ke barat. Semua jajanan ditata dengan baik di etalase kaca. Sebuah payung berwarna biru, kuning, hijau, dan merah menahan rembesan cahaya matahari dari sela-sela pepohonan di atas warung.

Awalnya Azriel tak percaya ia bisa menemukannya semudah itu. Ia tak begitu familier dengan daerah pedalaman ini. Apalagi, banyak surat-surat yang wajib ia urus bahkan setelah sebulan Ibu meninggalkan keluarga mereka. Sebelumnya, Azriel sudah mencoba menduga-duga posisi dan karakteristik warung tersebut.

Sepulang kerja di sore hari, Ibu sering membawakan mereka jajanan yang bermacam-macam, berwarna-warni, terbungkus rapi dalam kertas minyak dan daun pisang. Ibu selalu melakukannya sekali atau dua kali dalam seminggu. Kecuali pada hari Jumat.

Azriel sempat bertanya-tanya, memangnya ada apa di hari Jumat? 

Setelah hampir beberapa tahun berpikir keras, hari ini ia mendapatkan jawabannya. Ternyata lebih simpel daripada yang ia kira. Warung tersebut buka dari pagi sampai sore, dan tutup pada hari Jumat.

Sembari memarkir motornya di sebelah kiri jalan, Azriel membaca daftar menu yang terpajang di depan warung itu. Ada cenil, lupis, lanun, ketan kerip, ketan hitam, uceng-uceng, orog-orog, dan serabi. Minumannya hanya ada dua: kopi hitam dan teh hangat. Jantung Azriel semakin berdebar kencang. Ia berusaha menghapus keraguannya dan melangkah ke depan.

Seorang wanita paruh baya, dengan kerudung berwarna coklat muda, tampak sibuk melayani seorang kuli bangunan yang duduk ke arah timur. Tampaknya wanita tersebut sendirian mengoperasikan warungnya. Ibu pernah bercerita, kalau beliau sering mengobrol dengan sang pemilik warung. Katanya, wanita tersebut pernah menang undian umrah dari suatu bank syariah. Semua biaya penerbangan, makanan, penginapan, dan perjalanan dari Madinah sampai Makkah ditanggung oleh bank tersebut. Azriel sendiri sudah lupa nama banknya.

Mungkin, karena terinspirasi dari kisah wanita tersebut, Ibu berusaha menabung di bank syariah juga dengan membuka rekening kedua. Sampai meninggal, Ibu tidak pernah menang undian. Ya, bisa dipahami, karena hanya satu orang dari satu kecamatan yang terpilih tiap tahun.

Azriel menghela napas dalam-dalam, lalu mencoba duduk di bangku yang menghadap ke arah barat. Dia tahu dan ingat betul detail-detail kecil soal isi jajanannya, ragamnya, sampai bungkusnya. Tapi tak pernah terbersit di benaknya untuk mencoba mencari tahu bagaimana Ibu memesan jajanan ini.

Merasa pasrah, Azriel akhirnya angkat bicara meski suaranya penuh getar keraguan, "Bu, pesan jajannya, ya, campur jadi satu, dimakan di sini." 

Wanita itu menoleh dan tersenyum. "Oh, iya, sebentar ya," ujarnya lembut.

Tidak ada pertanyaan kali ini. Ternyata pesanan yang ia ajukan tak meleset. Azriel mengembuskan napas lega.

Mata pria itu mendaki, lalu bersandar pada telapak tangan keriput milik sang pemilik warung. Wanita itu mengambil sebuah piring lidi yang sudah dilapisi kertas minyak dan potongan daun pisang. Dia lantas menyendok dua lapis serabi, beberapa lupis dan cenil hijau dan merah muda, lalu menaburkan ketan dan gula cair di atasnya. Gula tersebut lumer, meresap ke sela-sela tumpukan ketan hitam-putih.

Wanita itu lalu menaruh sepiring penuh jajanan itu di hadapan Azriel. Tak lupa, dia menyodorkan garpu, sendok, dan satu boks kecil berisi tisu.

Lidah Azriel sudah tak sabar menahan liur. Ia belah serabi kehijauan di piring dengan sendok, menusuknya memakai garpu kecil, lalu menyuapkannya ke mulut. 

Rasa manis-legit menggempur sekujur papila di lidah Azriel. Jauh lebih manis daripada yang ia bayangkan. Seperti ada butir-butir gula meledak dalam mulut laki-laki itu.

Sekarang ia paham. Tentang kenapa Ibu selalu menyajikan jajanan ini terlebih dahulu kepada anak-anaknya. Tentang Ibu yang selalu enggan mencicipi jajanan ini, kalaupun mencicipi, biasanya hanya sesendok saja. Tentang kunjungan Ibu ke dokter keluarga tiap kali anak-anaknya memaksanya untuk ikut makan jajanan ini barang sedikit saja.

Air mata Azriel rasanya hendak tumpah. 

Bahkan ketika tubuh Ibu sudah dijangkiti diabetes stadium akhir sekalipun, beliau masih saja memikirkan anak-anaknya.


Biografi Tubuh IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang