"Le, lihat, pantainya indah, kan?"
Kusapu seluruh garis pantai dari utara hingga selatan dengan pandangan yang tak lagi gelap. Aku tersenyum dan segera berlari-lari kecil di sekitar pantai, jari-jemariku memungut sejumput pasir tembus pandang yang perlahan meluncur dari telapak tangan. Aroma garam bercampur lada mengembara, menembus sela-sela dagu, ketiak, dan rambutku.
"Iya, Bu. Aku suka!" ujarku bersemangat sembari menengadahkan kepala, menatap pohon-pohon palem raksasa yang menjadi sarang ratusan burung bayan.
Burung-burung itu menelengkan kepalanya, tampak heran melihatku dan Ibu. Beberapa di antara mereka masih sibuk mencangkulkan paruhnya pada buah-buah palem yang semakin menguning. Sayap mereka berwarna-warni. Belum pernah kulihat bulu selembut dan secantik itu. Tanganku hendak menggapai-gapai, tapi tak sampai.
Ibu tiba-tiba tersenyum dan bertanya pelan, "Kamu suka burung-burung itu, Le?"
Aku berbalik ke arah Ibu, tatapanku memelas agar beliau mau menangkap salah satu--atau mungkin dua atau tiga--burung beo kecil itu dalam sangkar kecil. Nanti, kalau dia jantan, akan kuberi nama Kancil. Yang betina bakal kunamai Sinah. Akan kuberi makan mereka tiap hari, dan kubersihkan kotorannya tiap pagi. Sudah kubayangkan bagaimana mereka akan menyapa dan bernyanyi sebelum aku berangkat sekolah.
Diam-diam, aku berharap. Suatu saat nanti, saat burung-burung itu sudah dewasa dan lepas dari sangkar, setidaknya akan ada salah satu dari mereka yang mengunjungiku lagi.
Tapi masih ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku. Bagaimana burung beo bisa tidur? Apakah dia perlu bantal, guling, atau tempat bersandar? Apakah mereka tidur dengan satu mata terbuka?
Ibu menghela napas dan bertutur, "Burung beo kecilku. Sayangku. Jantung jiwaku."
Kutarik beberapa helai rambut Ibu yang menjulur ke bawah, memain-mainkannya agar Ibu mau menangkapkan salah satu burung di atas sana. Namun, Ibu hanya termenung. Raut wajahnya masam, kedua tangannya menjuntai seperti sulur-sulur kering, dan kedua matanya menempel pada ombak di kejauhan. Berdebur tanpa henti, silih berganti seiring dengan embusan napas beliau.
Ibu mengambil sebuah jambangan kecil dari bagasi mobil. Ada motif kesukaanku di situ--Ouroboros. Hiasan floralnya juga bergelimang cahaya arunika. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Ibu membuka tutup jambangan itu dan menaruhnya di bagasi.
Kuiikuti langkah Ibu dari mobil sampai ke tepi pantai. Nyaris tak kudengar satu pun burung beo berkicau. Mereka diam di tempat, seperti sudah jinak dari awal. Pipi kasar Ibu terlihat lembab dari samping meskipun cuacanya sedang panas. Padahal, ini hari minggu dan matahari belum sepenggalah. Kupikir Ibu akan lebih cantik dengan sebuah senyuman, jadi aku tersenyum padanya.
"Ibu sudah mengantarkan bajingan itu ke Gusti Pangeran, Le," ujar Ibu tersenyum, napasnya sedikit tersengal-sengal.
Ibu lalu menuangkan isi jambangan itu ke laut. Aku tak tahu apa itu. Sepertinya itu pasir. Hanya saja, kalau aku boleh bilang, warna pasir itu seperti perpaduan antara pekatnya arang yang biasa Ibu pakai untuk memasak dan gumpalan awan saat musim hujan. Mulut Ibu lalu berkomat-kamit sambil membiarkan pasir tersebut tumpah, tercecer, dan dipunguti oleh burung-burung beo yang bersemayam di sini. Mereka tampak senang mencicipi sisa-sisa pasir itu.
Di saat yang bersamaan, tubuhku terasa semakin ringan, persis seperti air yang menguap menuju langit.
"Yang tenang di sana, ya, Le."
KAMU SEDANG MEMBACA
Biografi Tubuh Iblis
SpiritualeHari penghakiman sudah usai. Azazil dibebastugaskan oleh Tuhan setelah mendekam lama dalam neraka. Ia diberi kesempatan kedua untuk hidup di dunia yang mirip dengan bumi. Di dunia ini, dia diberi umur sepanjang napas Kekasihnya, untuk belajar hidup...