Stoik Bagian 8.1 : Keluarga Harmonis

143 16 1
                                    

Yohanes Immanuel Arya dan Alex Immanuel Arya.

Lahir di tengah keluarga menengah ke atas dengan hidup serba berkecukupan. Tidak lebih dan tidak kurang. Keluarga mereka begitu harmonis, sampai suatu hari, ketika Jo dan Alex baru saja pulang dari sekolah mereka, mereka mendapati Bunda mereka, tengah mencakar wajah ayah mereka.

Mereka tentu bingung dan panik. Bunda mereka menangis, sedangkan sang ayah hanya bisa berteriak,

"Wanita gila!"

"Wanita bajingan!"

"Jalang!"

Umpatan serta makian kasar itu keluar dari mulut sang penjaga keluarga mereka. Mata ayah mereka nampak berapi-api dan tidak memiliki belas kasihan sedikitpun kepada wanita di depannya yang notabene adalah istrinya.

Jo dan Alex yang pada waktu itu baru pertama kalinya melihat kedua orangtua mereka bertengkar, hanya bisa diam tak bersuara. Mereka hanya bisa diam, mematung, tanpa mengerti apa yang harus dilakukan.

Menghibur?

Melerai?

Ikut campur dalam urusan?

Kepala mereka berkutat, bingung untuk mencari jawaban yang benar. Alex dan Jo benar-benar tidak siap dengan situasi yang mereka hadapi. Dengan gerakan impulsif, mereka berdua berusaha membentengi bunda mereka dari amukan sang ayah.

"Ayah, berhenti!" seru Jo.

"Kasihan Bunda!" seru Alex.

Arya, atau nama ayah mereka hanya bisa berdecak sambil mengusap rambutnya ke belakang dengan kesal, "Kasihan? Kalian kasihan dengan wanita ini?"

"Semuanya bisa dibicarakan baik-baik, Yah," ujar Jo berusaha menenangkan sang Ayah.

Alex menutupi bunda nya dengan jaket miliknya. Sedangkan Jo masih berusaha untuk negosiasi dengan sang ayah. Mau bagaimanapun, kedua anak itu tidak ingin kedua orangtua mereka berpisah. Mereka ingin keluarga utuh yang menyayangi satu sama lain.

"Sekarang jawab ayah Jo, Alex. Jawab kalau kalian masih bisa berpikir. Coba pake otak pinter kalian itu buat mikir," ujar Arya dengan nada tinggi.

"Mas stop---anak-anak ga perlu tau----" jerit sang bunda.

"Mereka perlu! Mereka perlu tau, Indah! Mereka perlu tau mana yang benar---

---dan mana yang salah!"

Kalimat itu diucapkan oleh sang kepala keluarga dengan mata berapi-api. Suasana di rumah itu benar-benar panas walaupun hujan tengah turun dengan derasnya. Sang ayah menunjuk dadanya sendiri, menatap kedua anak-anaknya yang masih meringkuk ketakutan, melindungi bunda nya.

"Bagaimana...bagaimana rasanya kalau ada keluarga kalian yang tiba-tiba berkhianat? Bayangin aja kalau tiba-tiba bunda kamu itu bawa anak baru, terus dia lebih sayang anak itu daripada kalian. Apa kalian ga marah?"

Di tengah luapan emosinya, Arya masih berusaha mengkondisikan pikirannya, menggunakan analogi yang pas, agar kedua putranya itu dapat mengerti. Ia tarik nafas dalam-dalam dan melihat reaksi kedua putranya. Dan benar saja, keduanya yang baru saja menginjak kelas satu SMP itu, menatap dengan wajah takut ke arah bunda mereka.

"Bunda...bunda ga sayang sama kita lagi?" tanya Alex terbata.

Jo hanya bisa terdiam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Baik pikiran maupun perasaannya sedang tidak pada tempatnya. Melarikan diri, seolah-olah tengah bermimpi.

Sang bunda menggeleng dengan cepat, "Ayah kamu itu selingkuh! Bukan Bunda. Percaya sama Bunda! Bunda yang ngelahirin kalian!" jerit sang Bunda.

Selingkuh.

Satu kata baru yang dipelajari oleh dua anak kembar itu. Bagaimana setelah itu, ayah mereka hengkang begitu saja dari rumah, enggan menoleh ke belakang kembali. Alex dan Jo pada saat itu hanya bisa berpendapat bahwa ayah mereka belum terlalu dewasa untuk menghadapi hal-hal seperti ini.

Alex dan Jo akhirnya berubah menjadi pemuda yang dingin. Mereka membangun tembok yang sangat tinggi dan susah untuk percaya kepada seseorang.

Namun sayangnya, Jo memiliki sifat yang perasa, sehingga dia gampang sekali luluh dengan perlakuan manis dan gentle orang lain di awal perkenalan. Sedangkan Alex, dia berusaha menjadi yang terbaik, agar sang Bunda tidak bersedih kembali.

Masa-masa ketika mereka ditinggalkan oleh sang Ayah, merupakan masa-masa sulit bagi mereka. Bagaimana bunda mereka menangis setiap hari, kakek-nenek mereka yang datang untuk sekedar memberi nasihat atau petuah kepada sang bunda.

Sebenarnya, sadar atau tidak, mereka mendengar percakapan kakek-nenek mereka. Mereka yang pada saat itu sudah mulai menginjak kelas tiga SMP, sedikit demi sesikit paham apa yang terjadi di masa lalu.

"Ini semua karma,"

"Kalau kamu tidak nakal dengan laki-laki lain, semuanya tidak akan begini,"

"Kamu seharusnya paham. Anak-anakmu juga berhak tahu tentang laki-laki itu,"

Sejak hari itu, Jo dan Alex sepakat untuk bungkam. Dalam hati mereka, mereka hanya ingin menjaga apa yang dimiliki oleh mereka saat ini, yaitu bunda mereka.

Walaupun dalam lubuk hati kecil mereka...mereka sudah tahu, siapa yang sebenarnya salah di masa lalu.

s.t.o.i.k

Stoik - ChanglixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang