Hari yang ditunggu Alex, tak kunjung datang.
Alex masih menunggu di salah satu sudut ruangan. Matanya memindai, terutama di bagian pintu masuk perpustakaan. Namun hingga bel masuk berbunyi, sosok yang ditunggu-tunggunya tidak kunjung datang.
"Ga jadi lagi ya hari ini?"
Alex menutup buku tebalnya dengan malas. Ketika ia melangkahkan kakinya untuk beranjak dari bangku, sosok yang ditunggu itu datang.
Senyum Alex reflek merekah—
—namun kemudian meredup.
Bram masuk ke dalam perpustakaan bersama orang asing yang Alex sama sekali tidak dikenalnya. Laki-laki yang berjalan bersama Bram nampak asik tertawa tanpa memperdulikan bahwa mereka sedang berada di perpustakaan saat ini.
"Ck,"
Alex berdecak sembari menyeret buku tebalnya. Langkahnya dihentak bersamaan dengan emosinya yang semakin naik. Secepat mungkin ia berjalan keluar dari perpustakaan, enggan melihat dua orang tersebut.
"Lihatin apa?" tanya Bram.
"Nggak, tadi kayaknya ada si Alex. Tapi cuma perasaanku aja kali,"
"Oh. Ya udah Ian, cepet registrasi disini,"
s.t.o.i.k
Apa itu cinta bertepuk sebelah tangan?
Brak!
Alex membanting buku astronomi tebalnya, membuat atensi seluruh kelas teralih ke arahnya. Alex menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan kesal yang tengah merajuk di dalam dadanya.
Kesal? Mengapa dirinya harus kesal?
"Apasih anjir, begituan doang," gumamnya.
Alex merasakan sebuah usapan halus di pundaknya. Ia menoleh dan mendapati Jo tengah merangkul bahunya, "Kenapa? Kak Bram lagi?"
Alex langsung membuang mukanya ketika Jo menyebut nama Bram, "Nggak, kenapa dia?"
Jo hanya bisa berdecak dengan wajah mengejek, "Bisa aja kalau bohong. Kurang bagus aktingnya," ejek Jo.
"Kenapa? Cerita aja," ujar Jo.
"Apanya?"
"Kak Bram," jawab Jo.
"Nggak—"
Tiba-tiba, salah satu teman sekelas Alex memanggil, "Lex, dicariin kak Bram,"
Alex menghela nafasnya, berusaha menahan emosinya yang sedari tadi sudah memuncak hingga ke ubun-ubun. Dengan derap kaki yang keras, ia berusaha memenuhi panggilan seseorang yang—wajahnya sangat tidak ingin ia lihat saat ini. Sesampainya di depan pintu kelas, Alex hanya bisa mengepalkan tangannya erat dan mengatur nafasnya. Entah mengapa, yang bisa ia pikirkan hanya ingin menggigit Bram sekeras-kerasnya saat ini.
"Ya?"
Yang menunggu di luar kelas hanya bisa menoleh terkejut dengan kehadiran Alex, "Eh, Alex? Tadi kata Ian, kamu sempat di perpustakaan ya tadi? Nungguin?"
Oh, jadi Ian namanya?
Alex menggeleng cepat sebagai respon, "Nggak, teman kak Bram salah lihat kali," ujar Alex.
Dengan sangat profesional dan berwibawa, Alex menunjukkan bahwa dia tidak mencari-cari Bram sama sekali. Padahal hati kecilnya meraung ingin sekali menyumpah serapah di depan Bram.
"Oh oke deh. Aku akhir-akhir ini sibuk karena ada persiapan diesnatalis sekolah, jadi maaf kalau nggak sering muncul di perpus," ujar Bram.
Alex mengerjapkan matanya sesaat. Bukankah belajar untuk olimpiade jauh lebih penting saat ini? Mengapa Bram rela membuang waktunya untuk hal-hal yang tidak berguna seperti itu?
"Maaf ya Alex, mungkin minggu ini, aku gaakan bisa nemenin kamu," ujar Bram.
Alex menatap manik mata Bram. Laki-laki yang jauh lebih tua itu hanya menatap dirinya dengan penuh harap. Alex hanya berpikir, mengapa dirinya atau Bram harus bisa belajar bersama? Bukankah dirinya atau Bram bisa belajar dengan orang lain?
Bersama Ian contohnya?
"Ya udah sih kak kalau nggak bisa. Aku juga ga masalah kalau sendirian. Udah biasa," ujar Alex ala kadarnya.
Bram hanya bisa terdiam dengan wajah cengo ketika Alex menutup pintu kelas tersebut.
"Udah biasa ya?"
s.t.o.i.k
Kali ini, Alex pulang sendiri tanpa Jo. Abangnya itu tengah berkutat dengan klub teaternya perihal drama apa yang akan mereka pentaskan nantinya pada saat diesnatalis sekolah.
"Alex pulang,"
Hening.
Rumah itu nampak sepi. Tidak ada sambutan ataupun balasan dari salam yang Alex lontarkan. Alex hanya bisa menghela nafas kasar. Emosinya sudah habis ketika di sekolah dan sekarang, ia harus merasakan betapa keringnya kondisi rumahnya.
"Bunda?"
Alex menelusuri lorong di lantai dua, tempat kamar Bunda nya berada. Perlahan ia berjalan, hingga ia mendengar suara desahan yang mengalun di dalam kamar pribadi sang Bunda.
Desahan itu mengalun dengan manja, masuk tanpa permisi di telinga polos Alex. Tangan Alex yang sebelumnya terulur untuk mengetuk pintu, tertahan begitu saja di depan kamar Bunda nya. Tubuhnya kaku, tidak bisa digerakkan. Rasa takut dan khawatir mulai menjalar di dada serta kepalanya. Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca. Dengan menahan emosi yang ada, Alex menutup mulutnya, menahan isak tangisnya sembari berjalan ke arah kamarnya dan Jo.
Ia ambil ponselnya yang berada di atas ranjang, men-dial nomor saudara kembarnya itu.
"Halo, Lex?"
"Bang, cepet pulang..."
Tidak perlu waktu lama, Jo datang dengan membawa Raja bersamanya. Alex masih dengan posisinya, duduk di samping ranjang sambil menekuk lutut sembari membenamkan kepalanya di kedua kakinya, terisak. Jo langsung meletakkan tas nya dan memeluk saudaranya itu.
"Abang...hiks—Bunda—"
Alex adalah seseorang yang logis, bahkan jauh lebih logis daripada Jo. Dan ketika ia menemukan hal yang tidak sesuai moral dan prinsipnya, ia akan marah dan kecewa. Apalagi kali ini, ibu mereka, yang notabene penuntun hidup mereka, malah melakukan hal menyimpang yang tidak seharusnya beliau lakukan di rumah mereka sendiri.
"Bunda kenapa?" tanya Jo bingung.
Alex berusaha berbicara selirih mungkin di telinga Jo. Bagaimanapun juga, Raja tetaplah orang asing yang kebetulan datang bersama Jo. Dia tidak bisa mengumbar aib keluarganya begitu saja.
Reaksi yang diberikan Jo tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh Alex. Bahu laki-laki tupai itu merosot dan dirinya jatuh terduduk dengan tatapan kecewa.
"Serius, Lex? Bunda? Bunda ngelakuin itu?" tanya Jo terbata.
Alex hanya bisa mengangguk sambil terisak. Kedua anak kembar itu hanya bisa menangis sambil berpelukan. Hati mereka terlampau sakit, ketika mengetahui wanita yang selama ini mereka jaga, kecolongan begitu saja di belakang mereka.
Kecolongan, mungkin satu kata itu yang cukup untuk menggambarkan betapa kecewanya mereka kepada sang Bunda.
Raja yang berada disana hanya bisa duduk terpaku tak jauh dari mereka. Raja tidak tahu konflik apa yang sedang dua anak kembar itu jalani. Namun, ketika Raja melihat dua anak kembar itu menangis, sudah pasti ada yang tidak beres di rumah ini.
"Something isn't right and I don't think I should know that far,"
s.t.o.i.k
---
Catatan Penulis :
Asli, aku nulis ini bener-bener menguras emosiku. Logika ku kupaksa jalan demi mendapatkan karakter Alex yang aku mau, tapi di satu sisi, cerita ini cukup bikin aku capek (ya buka luka lama juga sih soalnya), maka dari itu aku akan tulis cerita ini pelan-pelan.
Happy reading!

KAMU SEDANG MEMBACA
Stoik - Changlix
FanfictionKenapa sih, orang kalau naksir harus lihat wajahnya dulu? Pair : Changlix