"Sendirian? Ga bareng sama Jo?"
Bram menarik kursi di samping Alex untuk duduk. Mereka ada janji untuk belajar bersama ketika sepulang sekolah berlangsung. Dan disini lah mereka, di perpustakaan sekolah yang ada kemungkinan tutup sekitar jam empat sore.
"Abang mana mau duduk di tempat sepi kayak gini lama-lama," ujar Alex.
"Oh, jadi kamu kalo manggil Jo, Abang ya?" ujar Bram.
"He-em," jawab Alex singkat.
Selama satu jam berjalan, kedua anak adam dengan otak encer itu berkutat dengan buku masing masing. Sesekali Alex melirik ke arah Bram yang sangat serius dengan bukunya. Sekilas, jika dilihat oleh Alex, yang di pegang oleh Bram adalah buku geografi biasa. Namun, jika dilihat lebih dekat, buku geografi itu hampir keseluruhannya menggunakan pengantar Bahasa Inggris.
Mata Alex turun ke arah buku catatan Bram. Alex terkesima dengan tulisan Bram yang begitu rapi dan menggunakan Bahasa Inggris juga. Benar-benar totalitas, batin Alex.
"Lagi lihatin apa, Lex?"
Sadar dengan suara Bram yang menangkap basah dirinya curi-curi pandang, Alex hanya bisa berdeham, menetralkan kegugupannya.
"Nggak, aku kaget aja kalau itu full pakai Bahasa Inggris. Geografi susah ya?"
Sejauh yang Alex tahu, geografi berkutat dengan lapisan-lapisan bumi, pembagian daratan lautan, dan epidemik lokal.
"Tahu nggak kalau geografi ga sebatas bagian bumi aja lho," ujar Bram.
Bram membalik bukunya cukup jauh, menunjukkan bahwa geografi juga membahas tentang batasan langit-langit dan udara di sebuah teritorial. Bagaimana rasi bintang terbentuk dan beberapa mitos yang dijelaskan secara sains.
"Ada astronominya juga," ujar Bram.
Alex mengerti percakapan Bahasa Inggris secara umum, tapi tidak dengan buku-buku ilmiah yang dipegang oleh Bram saat ini. Sebuah gambar langit terbentang luas, dengan pembagian-pembagian lapisan luar bumi yang sudah Alex hafal di luar kepala.
"Aku yakin kamu pasti sudah paham ini," ujar Bram.
Alex mengangguk. Sejak kecil, dia selalu tertarik dengan langit. Menurutnya, langit memiliki sejuta misteri, karena tidak tersentuh oleh manusia.
Kringggg!
"Udah bel, istirahat dulu yuk," ajak Bram.
Alex dan Bram pun meninggalkan kelas, dengan Alex yang semakin terombang-ambing karena sikap Bram yang semakin bersinar bagai bintang di hatinya.
Tapi apa kalian tahu jika—
—sebuah bintang juga bisa melebur sewaktu-waktu?
s.t.o.i.k
'Lihat tuh kak Bram, masa iya jalannya sama Alex?'
'Dih, si Alex songong bener dari awal. Masa katanya sih sukanya sama anak pinter-pinter,'
'Sukanya ama yang gila piala kali,'
'Aneh,'
'Anak aneh,'
'Nanti bisa jadi karma nya si Alex tuh. Punya pacar, tapi dianya jadi pajangan doang. Hahahahaha,'
Alex berusaha menulikan pendengarannya ketika memasuki kantin. Sesekali ia mendongak, memeperhatikan punggung tegap Bram dari belakang. Baru Alex sadari bahwa Bram memiliki bahu yang cukup lebar. Apa yang akan terjadi jika dirinya bersandar—
Seketika mata Alex membulat. Apa yang baru saja dia pikirkan? Dirinya bersama Bram?
"Nggak mungkin," gumam Alex.
"Kenapa, Lex?" tanya Bram.
"N-nggak kak, gapapa," ujar Alex buru-buru.
Ingin rasanya Alex bertanya, apakah Bram mendengar apa yang orang-orang kantin tengah bicarakan? Tapi Alex terlalu ragu untuk bertanya. Takutnya, Bram hanya menganggapnya sebagai adik kelas biasa.
"Next time, kita belajar bareng lagi ya?" ujar Bram.
Alex mengangguk cepat sebagai respon, "Iya kak. Bisa,"
Di sepanjang pelajaran, Alex hanya bisa diam. Ia terus memikirkan perkataan orang-orang yang tengah membicarakan dirinya saat ini. Entah mengapa, semua orang nampak benci sekali padanya.
"Kan kak Bram duluan yang deketin, apa salahnya kuterima?" gumam Alex.
"Dia pinter kok," imbuhnya.
Entah mengapa, darah Alex merasa berdesir ketika mengucap kalimat tersebut. Euforianya perlahan naik, diiringi dengan debaran jantungnya yang melonjak senang.
Apakah dirinya benar-benar menyukai Bram untuk saat ini?
Apakah perasaannya ini benar?
Alex mainkan alat tulis yang ada di jemarinya. Menggenggamnya, menulis tipis sesuatu di atas buku miliknya.
'Bram'
Hanya menulis namanya, sudah berhasil membuat Alex tersenyum.
Dirinya sedang jatuh cinta.
s.t.o.i.k
"Kenapa sih kalian ga percaya sama bunda?!"
Lagi,
Sang Bunda, tengah meminta izin untuk menikah lagi. Namun sayangnya kedua anak kembar itu masih menolak.
"Bunda, Bunda tenang dulu ya. Bukannya aku sama Alex ga mau. Masa iya kita ga pengen Bunda seneng? Tapi Bunda...Bunda belum pernah coba kenalkan pasangan Bunda ke kita. Dia masih orang asing buat kami," ujar Jo secara perlahan.
Tidak ada angin tidak ada hujan—
PLAK!
"Bang!"
Alex reflek langsung memegang tubuh Jo yang sedikit terhuyung akibat tamparan keras Bundanya. Kenapa Bundanya jadi seperti ini?
Tidak pernah sekalipun Alex berpikir bahwa Bunda nya akan melayangkan pukulan kepada anaknya sendiri.
Hanya karena perkara ini.
Bukankah sang Bunda harus memenangkan hati mereka lebih dulu? Lalu kenapa wanita ini memaksa?
"Bilang itu ke abang kamu, sekali dia ngomong kalo pacar Bunda itu orang asing buat kalian, kalian yang pergi dari rumah,"
Alex memeluk Jo yang mulai terisak di bahunya. Mau se-tegas apapun Jo di depannya, Jo adalah orang yang perasa. Dia paling tidak bisa jika perasaannya sudah tersakiti.
Alex perlahan memapah Jo menuju kamar mereka. Sesampainya di kamar, Jo langsung memeluk Alex dengan kencang.
"Bunda berubah–hiks–"
Alex mengelus perlahan punggung Jo, berusaha menguatkan. Tidak bohong, hatinya juga tercubit sakit, ketika Bunda nya dengan enteng mengusir mereka dari rumah.
"Kita mesti gimana, Lex? Gimana?" tanya Jo.
Alex hanya bisa terdiam. Isi kepalanya cukup ribut dengan masalah-masalah yang ia temui hari ini. Ia pikir, ia bisa beristirahat dengan tenang ketika sudah di rumah, nyatanya ia salah.
Semuanya semakin runyam, semakin kusut.
Mau bagaimanapun, dirinya dan Jo masih ber status anak SMA, belum waktunya untuk memikirkan apa yang orang dewasa pikirkan.
Tapi, mengapa Bunda nya tidak mau memberikan mereka pengertian dan cenderung memaksa? Alex tidak tahu.
Perlahan, air mata Alex yang sudah ia tahan sedari tadi, akhirnya pecah, walau salam diam.
Yang bisa ia lakukan saat ini adalah...menguatkan diri dengan Jo yang akan selalu ada disisinya.
Bukan Bunda nya lagi.
s.t.o.i.k

KAMU SEDANG MEMBACA
Stoik - Changlix
FanfictionKenapa sih, orang kalau naksir harus lihat wajahnya dulu? Pair : Changlix