Stoik Bagian 3

204 25 2
                                        

"Jadi, apa yang kamu ketahui tentang MPK, Alex?"

Alex tersenyum ke arah seorang wanita yang nampaknya tadi ditunjuk oleh Bram sebagai sekretaris. Alex sudah siap dengan catatan kecilnya dan mengangkatnya. Dia siap membaca catatan kecil yang sudah ia siapkan semalam.

"Stop,"

Suara rendah itu menghentikan pergerakan Alex. Matanya bertatapan dengan Bram yang nampak heran dengan apa yang dia lakukan sekarang.

"Itu catetan kamu?" tanya Bram.

"Iya kak," jawab Alex.

Dua orang di kanan kiri Bram berusaha bersembunyi untuk menahan senyum mereka. Sedangkan Bram masih dengan wajah datarnya, bersikap profesional, memanggil Alex untuk mendekat.

"Coba kemari," ujar Bram sambil melambaikan tangannya ke arah Alex.

Alex hanya bisa mengernyit tidak paham. Tapi akhirnya dia maju mendekat ke meja milik Bram.

"Catatan kamu, letakkan di sini dulu. Lalu kamu kembali berdiri di sana," tutur Bram.

Kini Alex menyadari kenapa dua orang di belakang Bram berusaha menahan tawanya karena dirinya. Ya, masalah utamanya ada pada dirinya.

Tapi Alex tetaplah Alex. Dia tidak akan merasa bersalah walaupun hal yang baru saja dilakukan merupakan satu pelanggaran wawancara staff MPK.

"Saya pikir saya harus presentasi kak," elak Alex.

Bram menaikkan kedua alisnya, "Oh? Nggak masalah kok kalo kamu mau presentasi. Bawa laptop?" tanya Bram.

Suara "pfftt" semakin lama semakin terdengar dari balik tubuh Bram. Sedangkan Bram masih bisa mempertahankan wajahnya untuk bersikap baik di depan kandidatnya satu ini.

"Saya baca di sebuah artikel kalau presentasi bisa dengan tidak menggunakan media. Tadi saya membawa catatan untuk jadi bahan presentasi saya," jelas Alex.

Bram menelan ludahnya kasar dan menundukkan kepalanya. Sedetik kemudian dia mengangkat kepalanya dan tersenyum ke arah Alex.

"Teman-teman kamu di luar masih ada yang nunggu, kita langsung aja ya?"

"Terserah sih kak. Bebas," ujar Alex sambil menaikkan salah satu alisnya.

Lagi, Alex menunjukkan sikap superiornya di tempat yang salah. Tapi apa boleh buat? Dia kesal karena catatan kecilnya tersita.

"Oke, biar saya aja deh yang 'mengkuliti' kamu. Abaikan dua teman saya di sini. Nanti mereka yang akan rekam sama menulis notulen wawancara kita," ujar Bram.

Alex hanya mengangguk sebagai respon. Entah hilang kemana rasa 'hormat' yang ia sematkan dalam-dalam kepada Bram.

Dia bosan.

Ga asik ah ternyata. Kak Bram sama aja, batin Alex.

s.t.o.i.k

"Oke, sudah,"

Alex memutar bola matanya malas. Akhirnya selesai juga urusan menyebalkan ini, batin Alex.

"Sebentar Alex,"

Langkah Alex terhenti, ia meremat kesal gagang pintu yang tengah ia genggam. Ia kemudian menoleh dan melempar senyum memaksa.

"Ya kak?"

"Kamu---ah ga jadi deh," ujar Bram.

Alex menghembuskan nafasnya kasar. Kali ini, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berucap sekenanya terhadap tiga senior di belakangnya.

"Ck, ga jelas,"

Satu kalimat itu keluar beriringan dengan pintu ruangan wawancara yang tertutup. Menyisakan tiga senior yang termenung karena mendengar kalimat Alex yang cukup jelas.

"Dia...dia ga salah ngomong kan?" ujar sekretaris MPK di sana.

s.t.o.i.k

Alex menendang-nendang barisan semut di depannya, membuat semut yang tengah mengangkut makanan itu berhamburan karena ulahnya. Kini ia duduk termenung, menunggu saudaranya Jo untuk pulang bersama.

"Apa sih Yang Mulia, jangan usil deh!"

Jo secara tidak sengaja keluar dengan tubuh berbalut tepung putih. Di sana, Alex dapat melihat siapa yang dengan sengaja menumpahkan tepung ke arah saudaranya.

"Ahahahaha!"

Tawa itu sangat candu, namun tidak bagi Alex. Dia dapat melihat bagaimana saudaranya tengah bercanda dengan 'gebetan' barunya.

Nampak wajah Jo sangat bahagia. Ia melanjutkan acara lempar tepung itu sampai ke koridor kelas. Alex hanya bisa mendecak kesal, menggerutu dalam hati.

Mengapa saudaranya memiliki standar rendah untuk seorang pasangan, sedangkan dirinya memiliki standar yang cukup tinggi dalam hal yang sama?

Bukankah kita harus memiliki pasangan yang setidaknya pintar, berprestasi, dan patut dibanggakan?

Rasa kagum Alex pada Bram lenyap begitu saja. Hilang bersamaan dengan harapan Alex masuk ke dalam MPK. Dia sudah masa bodoh dengan organisasi itu. Hanya sekumpulan orang-orang yang ingin terlihat keren, sama seperti anak-anak di OSIS.

"Eh, Lex. Dah lama?"

Setelah lama memperhatikan Jo dan 'gebetan' nya, akhirnya saudaranya itu dapat menyadari keberadaannya. Alex menatap 'gebetan' kembarannya dengan wajah tidak suka.

"Ku bilangin Bunda lo kalau kamu punya pacar baru," ujar Alex.

"Ish, Alex. Aku ga pacaran," tegur Jo.

Sedangkan pelaku keempat, hanya bisa terdiam di tempatnya sambil tersenyum. Laki-laki itu kemudian balik badan dan masuk kembali ke ruangan teater.

Kini hanya ada kakak adik tersebut di koridor kelas. Jo memukul bahu Alex cukup keras, "Bisa-bisanya kamu ngomong gitu waktu ada kak Raja!" gerutu Jo.

Jo hanya takut terlalu 'nampak' untuk mendekati Raja. Jo hanya berharap, kisah cintanya kali ini tidak akan kandas dan Jo menilai bahwa Raja adalah laki-laki yang baik.

"Semua orang itu baik kalau ke orang yang dia mau, Jo. Jangan bodoh," ujar Alex.

Masih membekas diingatan Alex bagaimana Jo meraung karena cinta pertamanya kandas dan bagaimana mantannya malah mencari pacar baru yang memiliki wajah sangat mirip dengan saudaranya. Jo merasa usahanya selama ini sia-sia untuk mantannya itu.

"No one can fix someone, Jo," ujar Alex.

Jo hanya bisa mengangguk, setuju dengan ucapan Alex. "Ada baiknya kamu background check dulu si Raja Raja itu. Jangan sampe kamu jatuh di lubang yang sama," ujar Alex.

"Kak Raja, Alex! Dia lebih tua," tegur Jo.

Banyak laki-laki yang mendekati Jo hanya untuk uangnya. Dan Jo dengan polosnya hanya bisa mengiyakan tanpa menolak tawaran mantan gebetan atau mantan pacarnya itu.

Hal itu yang membuat Jo memasang standar yang cukup tinggi, karena dia tidak ingin berakhir na'as seperti saudaranya.

"Masih lama?" tanya Alex.

"Nggak kok. Ini pengenalan anak baru aja sebenernya. Mungkin setelah ini penutupan. Tunggu ya," ujar Jo.

Jo kemudian meninggalkan Alex dan kembali masuk ke dalam teater. Beberapa menit kemudian, Alex merasa bahunya ditepuk dari belakang oleh seseorang.

"Nunggu siapa, Lex?"

Itu Bram. Ia menjinjing tas nya di bahu dan berdiri di belakang Alex yang tengah duduk termenung. Ia reflek menjawab,

"Nunggu, Jo,"

Singkat, padat, jelas. Tanpa adanya pertanyaan balik kepada Bram. Alex benar-benar tidak minat untuk berbicara dengan Bram.

Namun, tanpa disangka-sangka, Bram dengan antusias duduk di sebelah Alex. "Gimana dua hari ini di sekolah? Asik nggak?" tanya Bram.

"Biasa aja sih kak. Paling kalau aku nggak masuk MPK, aku fokus mau ikut olim," ujar Alex.

"Hmm? Kok pesimis gitu? Harusnya berdoa dong biar bisa diterima," ujar Bram.

"Doa? Kayak ada yang denger aja," ujar Alex.

s.t.o.i.k

------

Stoik - ChanglixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang